PENANGANAN PREMANISME KALIJODO MELALUI PENDEKATAN PENATAAN HUKUM (LEGAL COMPLIANCE APPROACH)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Kalijodo merupakan salah satu daerah di Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara yang diketahui sebagai wilayah prostitusi dan perjudian. Praktek prostitusi dan perjudian di wilayah ini sudah ada bahkan sejak puluhan tahun yang lalu. Keberadaan kegiatan yang melanggar norma hukum itupun tetap langgeng sampai sekarang karena ada kelompok preman yang melindunginya. Premanisme tumbuh subur di wilayah tersebut karena adanya pembiaran oleh aparat penegak hukum. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum kalau premanisme tersebut mendapat perlindungan dari oknum aparat TNI dan Polri.
Kisah tersebut merupakan isi dari Editorial Harian Umum Media Indonesia hari Kamis tanggal 18 Februari 2016 yang berjudul Menaklukkan "Premanisme Kalijodo". Kalijodo mulai ramai kembali menjadi bahan pembicaraan masyarakat setelah terjadinya kecelakaan mobil pada tanggal 8 Februari 2016 yang menewaskan empat orang. Supir yang mengendarai mobil saat itu sedang dalam keadaan mabuk setelah mereka berpesta di kawasan Kalijodo. Semenjak kejadian itu, pembahasan mengenai Kalijodo tidak henti-hentinya muncul di media. Berbagai hal tentang Kalijodo mulai dari prostitusi, tempat hiburan malam, perjudian, sampai kekuatan premanisme yang melindungi Kalijodo pun tak luput dari bahasan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa premanisme yang melindungi Kalijodo dianggap terlalu kuat sehingga Polri tidak mampu mengatasinya. Sebagian lagi masyarakat beranggapan bahwa telah terjadi praktek kerjasama antara polisi dan preman sehingga polisi seolah "tutup mata" akan tumbuhnya kegiatan terlarang di Kalijodo.
Pembiaran terhadap premanisme di Kalijodo merupakan salah satu hal yang dapat merusak kemandirian dan profesionalitas Polri. Lebih jauh lagi, pembiaran terhadap premanisme ini akan dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Anggapan itu jika dibiarkan akan berujung kepada krisis integrasi bangsa dan runtuhnya sendi-sendi kehidupan nasional. Menurut Prof. Teguh Sudarsono (2007 : 48) keadaan tersebut secara keseluruhan dapat terjadi karena pengabaian hukum (disregarding  the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law), serta sering terjadinya penyalahgunaan hukum (missuse of law) oleh berbagai pihak. Semua penyebab itu dapat menjadikan merosotnya wibawa hukum dan bahkan dapat mengarah pada terciptanya suasana non hukum dalam tata kehidupan nasional.
Memandang pentingnya mengembalikan harga diri Polri dan demi menjaga kondisi kamtibmas tetap terjaga, maka penulis memandang perlu untuk membahas masalah langkah penegakkan hukum dalam menangani premanisme di Kalijodo melalui pendekatan penataan hukum (legal compliance approach).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan permasalahan di atas maka persoalan penelitian yang harus dijawab adalah:
a.     Bagaimana karakteristik premanisme yang terjadi di Kalijodo?
b.     Bagaimana langkah pendekatan penataan hukum (legal compliance approach) yang seharusnya dilakukan untuk menangani premanisme di Kalijodo?
















BAB II
LANDASAN TEORITIS

Dalam menjelaskan upaya penegakkan hukum maka kita harus memandang penegakkan hukum itu sebagai sebuah sistem yang dijalankan oleh komponen sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan penegakkan hukum. Karenanya sinergitas antar komponen sistem peradilan pidana harus mutlak dilaksanakan untuk menjamin berfungsinya sistem penegakkan hukum tersebut. Penegakkan hukum itu sendiri tidak boleh kita artikan secara sempit sebagai upaya memidanakan dan menghukum pelaku kejahatan. Namun kita harus melihat tujuan penegakkan hukum itu sendiri secara global.
Menurut Mardjono dalam Romli (2010) tujuan dari sistem peradilan pidana adalah sebagai berikut:
1.     Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,
2.     Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana,
3.     Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Dari pendapat Mardjono tersebut dapat dipahami bahwa pengungkapan kejahatan hanya merupakan salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana. Tujuan lainnya adalah untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan mencegah para pelaku mengulangi perbuatannya kembali.
Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan Prof. Teguh Soedarsono (2007: 5) bahwa profesionalisme Polri dalam menegakkan hukum tidak semata-mata tertuju pada keberhasilan menjerat kesalahan dan mampu memidanakan warga masyarakat yang melanggar hukum melalui criminal justice system, tetapi tugas Polri dalam penegakkan hukum harus dilakukan sesuai dengan jaridirinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Lebih lajut Prof. Teguh Soedarsono (2007:5) menjelaskan dalam mewujudkannya maka pelaksanaan tugas Polri harus diarahkan pada upaya untuk mewujudkan Kondisi Kepatuhan Hukum Masyarakat (law abiding citizen condition) yang dilaksanakan melalui "Pendekatan Penataan Hukum" (legal compliance approach) yang dilaksanakan dengan metode mewujudkan self motivation dan self regulation.
Untuk mencapai kemandirian dan profesionalitas Polri dalam menjalankan peran penegakkan hukum dan pencipta kondisi ketertiban umum, hendaknya Polri dalam melaksanakan tugas mengacu kepada teori yang berkaitan dengan aspek kerja kepolisian. Seperti yang diutarakan Keith Hawkin dalam buku Prof. Teguh Soedarsono (2007:16) bahwa penegakkan hukum dan ketertian umum pada dasarnya dilakukan dalam dua strategi yang saling menunjang, yaitu strategi penataan (compliance strategy) dengan tujuan untuk melakukan remedial, social repair and maintenance, or assistance people in the trouble, dan strategi penghukuman (sanction strategy) dengan tujuan melakukan tindakan accussatory, binary, or prohibbit with punishments.
Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa Polri sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum tidak boleh hanya melaksanakan penegakkan hukum secara represif melalui criminal justice system namun juga harus mewujudkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen) melalui pendekatan penataan hukum (legal compliance approach).Pendekatan penataan hukum (legal compliance approach) ini dijelaskan oleh Prof. Teguh Sudarsono (2007: 5) terdiri dari beberapa langkah, antara lain:
1.     Legal campaign, merupakan tugas Polri untuk melakukan penerangan dan penyuluhan hukum.
2.     Legal negotiation, penyelesaian masalah masyarakat melalui negosiasi yang dilakukan melalui proses mediasi, arbitrasi, atau konsiliasi.
3.     Legal subsidize, pemberian bantuan teknis kepada masyarakat.
4.     Legal supervition, merupakan upaya pengawasan terhadap kondisi kepatuhan hukum masyarakat.
5.     Legal action, merupakan tindakan hukum yang dilakukan Polri untuk menangani dan menyelesaikan perkara pidana yang terjadi.
Pendekatan penataan hukum ini sejalan dengan konsep pemidanaan yang selalu mendasarkan pada moral dan upaya perlindungan terhadap masyarakat dan individu, dalam hal ini perlindungan tertuju kepada korban kejahatan actual maupun potencial. Karenanya, politik hukum pidana selalu mengarah pada upaya mencegah faktor korelatif kriminogen serta berbagai aspek viktimogen yang terjadi, oleh karena itu upaya dan aktivitasnya dilakukan untuk tidak terulang terjadinya korban dengan cara menanggulangi berbagai ancaman faktual yang menjadi  penyebab terjadinya peristiwa pidana (Soedarsono, 2016:2). Pendapat beliau mengandung pesan bahwa dalam melihat suatu perkara haruslah secara menyeluruh kepada akar penyebab permasalahan tersebut. Penanganan masalah harus menyentuh kepada faktor korelatif kriminogen yang menjadi akar timbulnya perkara pidana.
Lebih lanjut Prof. Teguh Soedarsono (2016) dalam kuliahnya menjelaskan bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang patuh hukum maka harus dilakukan analisa terhadap suatu permasalahan berdasarkan motivasi orang berbuat jahat. Jika motivasi orang tersebut adalah keserahakan dan kesombongan (greedy cases) maka Polri harus melakukan langkah penyelesaian secara legal action melalui law enforcement mechanism. Di sisi lain ada orang yang berbuat jahat karena  terdorong kecelakaan/ kelalaian (accident cases), kebodohan (ignorance cases), dan keterpaksaan (needly cases. Untuk menangani masalah tersebut maka kita harus melakukan langkah penataan hukum sehingga permasalahan terselesaikan pada sumbernya.
BAB III
PEMBAHASAN

A.Karakteristik Premanisme yang Terjadi di Kalijodo.
Wilayah Kalijodo seharusnya merupakan lahan terbuka hijau pemerintah daerah DKI Jakarta yang kini diduduki oleh sekelompok orang dan digunakan untuk prostitusi. Dalam menjalankan bisnis ilegalnya dan menduduki tanah pemerintah, wilayah Kalijodo dilindungi oleh kelompok preman. Premanisme di Kalijodo merupakan premanisme yang terorganisir.
Jika ingin mengetahui asal mula premanisme di Kalijodo maka kita harus kembali ke tahun 1968 saat seorang tokoh Mandar bernama Kamelong datang ke Kalijodo dan membuka bisnis judi yang digemari oleh orang Tiong Hoa. Sejak Kamelong berbisnis, hingga 1982 jumlah orang Mandar nyaris sebanding dengan orang Makassar. Hal ini membuat gesekan di antara kedua suku itu kerap terjadi. Mereka yang berasal dari Makassar merasa sebagai mayoritas dan masih berdarah ningrat ketimbang orang Mandar, yang dianggap dari pedalaman. Sebaliknya, orang Mandar yang secara ekonomi kondisinya lebih baik merendahkan orang Makasar yang mempunyai tingkat ekonomi lebih rendah. Sementara itu pada tahun 1994, Abdul Azis Emba atau yang kerap disapa Daeng Azis, yang semula cuma menjadi pemasok bir, turut membuka lapak perjudian di Kalijodo. Semenjak saat itulah muncul dua kelompok preman yang saling bersaing untuk melindungi aktivitas kejahatan di Kalijodo.
Di Kalijodo ada sekolompok orang yang dijadikan sebagai benteng pertahanan kelompok premanisme yang disebut Anak Macan. Anak Macan adalah struktur paling bawah dari organisasi preman milik Usman dari kelompok Mandar. Jumlah mereka paling banyak dibanding pekerja lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan operasional perjudian dan prostitusi. Mereka ditampung dalam pos-pos atau divisi yang ada, di antaranya di bangunan yang belum digunakan oleh organisasi tersebut. Sisanya, ditampung di rumah-rumah kontrakan dekat lokasi judi dan prostitusi. Anggota Anak Macan digaji sebesar Rp 30 ribu sampai Rp 250 ribu sehari. Walaupun dalam organisasi mereka memiliki aturan-aturan, seperti tidak boleh membuat onar, mabuk, dan minum obat-obatan terlarang di sekitar lokasi perjudian, namun pada kenyataannya banyak anggota Anak Macan yang membuat onar di Kalijodo.
Jika dilihat dari gambaran di atas maka dapat terlihat bahwa premanisme di Kalijodo terdiri dari beberapa kelompok yang saling berseberangan. Hal ini tentunya menyimpan sebuah potensi konflik yang sangat besar dimana setiap kelompok tidak dapat bersatu karena mempunyai kepentingan yang berbeda. Faktor asal daerah juga berpengaruh terhadap potensi konflik yang mungkin terjadi karena paham yang dimengerti oleh mereka adalah paham ego kesukuan yang sempit. Jika dibiarkan lebih lanjut maka kondisi ini akan dapat mengarah ke konflik SARA.
Di sisi lain, keberagaman itu juga terjadi di dalam organisasi preman itu sendiri. Bagi kalangan pemimpin organisasi preman, perbuatan jahat yang mereka lakukan termotivasi oleh sifat serakah dan berusaha mencari kuntungan dengan cara yang melanggar hukum. Sedangkan pada anggota tingkat bawah, mereka hanya mencari penghidupan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Hal itu dapat kita lihat dari upah yang para anggota terima setiap harinya. Berdasarkan materi ajar Prof. Teguh Soedarsono, maka pola penanganan Polri haruslah melihat motivasi dari masing-masing pihak dalam melakukan kejahatan.
Dalam memandang kejahatan premanisme maka kita harus melihatnya sampai kepada akar permasalahannya. Hal ini berarti melihat fenomena premanisme dengan menganalisa ancaman faktual, police hazard, serta faktor korelatif kriminogen yang terjadi di lingkup Kalijodo itu sendiri.
Ancaman Faktual adalah ancaman baik yang telah terjadi maupun akan terjadi dalam jangka waktu pendek. Dalam kasus ini, ancaman faktual dapat berupa perkelahian antar kelompok, penganiayaan, pemerasan, pembunuhan, perjudian, dan prostitusi. Sedangkan police hazard adalah suatu ancaman yang selalu memerlukan keberadaan polisi atau anggota masyarakat yang berfungsi sebagai polisi untuk meniadakan ancaman tersebut. Bila tidak ada polisi atau anggota masyarakat yang berfungsi sebagai polisi, maka ancaman atau Hazard tersebut akan berubah dan meningkat menjadi ancaman faktual tindak pidana. Contohnya adalah kondisi dimana terjadi ketegangan antara dua kelompok, adanya perselisihan mulut antara penghuni Kalijodo, adanya tamu yang tidak mampu membayar tagihan kafe, dan lain-lain.
FKK (faktor korelatif kriminogen) adalah faktor-faktor yang merupakan akar permasalahan timbulnya ancaman. FKK ini merupakan masalah-masalah yang ada di masyarakat yang menuntut penyelesaian secara tuntas. FKK di Kalijodo meliputi masalah  ipoleksosbud hankam. Berikut penulis akan mengupas faktor korelatif kriminogen permasalahan premanisme di Kalijodo.
1. Ideologi. Masyarakat di Kalijodo masih mempunyai paham kesukuan yang sempit dan membenci kelompok di luar sukunya. Kelompok premanisme di Kalijodo mempunyai hubungan kekerabatan yang kuat dan patuh kepada pemimpin kelompoknya walaupun yang dilakukan pemimpin itu merupakan perbuatan yang salah.
2. Politik. Karakter masyarakat di Kalijodo yang multi etnis dan terorganisir merupakan alat yang potensial digunakan oleh aktor politik untuk tujuan tertentu. Di dunia politik, terkadang kerusuhan sengaja diciptakan untuk cipta kondisi terhadap tujuan yang ingin dicapai.
3. Ekomomi. Masyarakat di Kalijodo sebagian besar merupakan kalangan ekonomi rendah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Mereka melakukannya karena lapangan pekerjaan tidak merata dan sulit didapat di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa sebagian besar anggota organisasi preman ini datang dari kampungnya di Mandar, Makasar, dan Banten.
4. Sosial budaya. Kondisi masyarakat Kalijodo yang multikultur merupakan sebuah potensi konflik yang dapat terjadi apabila tidak ada proses komunikasi dan interaksi yang baik.
5.  Hankam. Fakta menyedihkan yang tidak dapat dipungkiri menyatakan bahwa premanisme di Kalijodo mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum sehingga eksistensinya tetap terjaga sampai saat ini. Karenanya pembiaran akan lokasi Kalijodo ini sudah berlangsung sampai puluhan tahun. Pada akhirnya aparat keamanan setempat seperti Polsek dan Polres tidak mampu mengatasi / memberantas premanisme yang terjadi di Kalijodo.
Setelah menganalisa karakteristik permasalahan premanisme di Kalijodo secara komprehensif, maka selanjutnya kita dapat menformulasikan langkah penegakkan hukum yang sesuai berdasarkan pendekatan penataan hukum (legal compliance approach) sehingga tindakan premanisme dapat diatasi.
B. Langkah Pendekatan Penataan Hukum (legal compliance approach) untuk Menangani Premanisme di Kalijodo.
Menegakkan hukum di Kalijodo tidak dapat dilakukan dengan sepenuhnya melakukan legal action. Penanganan faktor korelatif kriminogen harus dilakukan dengan metode pendekatan penataan hukum sehingga permasalahan di Kalijodo dapat terselesaikan secara tuntas. Pendekatan penetaan hukum ini juga dilakukan agar tugas penegakkan hukum dan penciptaan kondisi ketertiban masyarakat dapat terjaga secara selaras. Tujuan akhirnya adalah tercapainya kemandirian dan profesionalitas Polri. Adapun langkah pendekatan penataan hukum yang dapat diterapkan dalam menghadapi premanisme di Kalijodo adalah melalui upaya legal campaign, legal negotiation, legal subsidize, legal supervition, dan legal action.
Legal campaign merupakan sebuah upaaya yang harus dilakukan oleh Polri untuk melakukan penerangan dan penyuluhan hukum. Untuk mengatasi premanisme Kalijodo ini maka Polri tidak dapat melakukannya secara sendiri, perlu partisipasi seluruh stakeholder untuk bekerjasama saling membantu dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Kalijodo ini. Karena dalam menyelesaikan akar permasalahan yang termasuk dalam faktor korelatif kriminogen, perlu sebuah upaya penanganan yang komprehensif oleh semua pihak. Dalam hal ini pemerintah daerah dengan dinas-dinas terkaitnya, TNI, dan masyarakat juga harus mendukung upaya penataan hukum ini. Karenanya, upaya legal campaign yang dilakukan oleh Polri harus dilaksanakan dengan serius sehingga mendapat dukungan dari semua pihak. Setelah mendapat dukungan dari semua kalangan maka barulah dapat mendorong penciptaan kebijakan yang dapat penyelesaian masalah masyarakat Kalijodo.
Adapun upaya mengatasi permasalahan di tingkat faktor korelatif kriminogen dapat dilakukan dengan:
1. Mengadakan penyuluhan dan kampanye yang menanamkan kebhinekaan pada masyarakat Kalijodo sehingga pandangan kesukuan yang sempit dapat hilang.
2. Mendorong Pemda untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat digunakan sebagai bekal dalam mencari nafkah secara halal.
3. Mendorong Pemda dan segala unsur masyarakat untuk membantu memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan ketrampilan warga Kalijodo.
4. Mengupayakan pendidikan yang layak bagi anak-anak warga Kalijodo sehingga generasi muda dapat mempunyai wawasan patuh hukum dan ketika dewasa mereka kelak dapat berusaha mencari nafkah dengan cara yang diperbolehkan undang-undang.
5. Bekerja sama dengan Pemda dan seluruh komponen masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
6. Membangun forum komunikasi antar masyarakat, pemda, TNI, dan Polri sebagai wadah berinteraksi dan saling mengenal satu sama lainnya. Dari komunikasi yang baik maka akan tercipta hubungan yang lebih harmonis baik antara suku maupun golongan masyarakat.
7. Di internal sendiri, Polri harus mengkoreksi dan bersih-bersih diri dengan cara menertibkan oknum nakal yang masih melindungi praktek premanisme dan prostitusi di Kalijodo. Sebelum melakukan penegakkan hukum Polri harus terlebih dahulu bersih dari tindakan yang tidak mencerminkan kemandirian dan profesionalitas.
Legal negotiation merupakan upaya yang dilakukan oleh Polri untuk menyelesaian masalah masyarakat melalui negosiasi yang dilakukan melalui proses mediasi, arbitrasi, atau konsiliasi. Dalam upaya penataan hukum terhadap masyarakat Kalijodo dan memberantas premanisme yang ada disana pasti ada perselisihan yang terjadi baik itu antara warga dengan warga lainnya atau warga dengan pemerintah daerah. Secara yuridis normatif perbuatan mereka menduduki lahan terbuka hijau milik Pemda merupakan sebuah pelanggaran hukum yang dapat diancam pidana. Namun di sisi lain memidanakan semua warga Kalijodo bukan merupakan solusi yang bijak. Karenanya polisi sebagai lembaga pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat harus berada di tengah para pihak yang berkonflik untuk kemudian mencari jalan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Upaya itu dapat dilakukan dengan mediasi, arbitrasi, atau konsiliasi. Contohnya adalah menjembatani warga yang tidak mau pindah karena alasan tidak ada tempat tinggal dengan mengupayakan ketersediaan rumah susun kepada Pemda DKI. Dengan terakomodirnya kebutuhan tempat tinggal warga dan terlaksananya penertiban Kalijodo oleh Pemda maka solusi yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak telah tercapai tanpa menimbulkan konflik.
Legal subsidize yaitu upaya penataan hukum oleh Polri dengan cara memberikan bantuan teknis kepada masyarakat. Bantuan teknis yang dimaksudkan disini yaitu sebagai penjembatan masyarakat dengan pemerintah sebagai aparat negara. Bantuan ini tidak terbatas pada lingkup Polri saja namun juga instansi lain yang berhubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan bantuan teknis kepada masyarakat diharapkan masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan yang diberikan oleh institusi atau lembaga pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjembatani masyarakat ke dinas pendidikan bagi masyarakat yang anaknya mendapatkan sekolah, memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengurus catatan kependudukan ke kelurahan, dan memberikan bantuan untuk melengkapi izin usaha sehingga mereka dapat membangun usaha.
Legal supervition merupakan upaya yang dilakukan Polri melakukan pengawasan terhadap kondisi kepatuhan hukum masyarakat. Kondisi yang telah dibina tidak dapat dibiarkan begitu saja. Perlu sebuah upaya untuk terus menjaga ketertiban tersebut agar kondisi kepatuhan hukum masyarakat tetap terpelihara. Upaya tersebut juga harus dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Contoh aplikasinya yaitu dengan membuat sistem siskamling di wilayah Kalijodo yang anggotanya berasal dari warga sekitar, menempatkan pegawai kelurahan sebagai penjaga keamanan sekaligus memonitor perkembangan situasi yang ada, dan menempatkan patroli polisi di wilayah Kalijodo. Fungsi pengawasan ini tidak hanya berfungsi untuk mencegah terjadinya kejahatan namun juga sebagai sarana memberikan himbauan kamtibmas dan sarana kampanye penataan hukum.
Legal action merupakan tindakan hukum yang dilakukan Polri untuk menangani dan menyelesaikan perkara pidana yang terjadi. Pemrosesan pidana terhadap pelaku kejahatan juga perlu dilaksanakan sebagai upaya memberikan keadilan kepada masyarakat. Dari penegakkan hukum itu juga akan memberikan deterrence efect kepada warga lainnya sehingga tidak mengulangi perbuatan jahat yang pernah terjadi. Pemrosesan secara hukum pidana ini tepat dilakukan kepada pimpinan organisasi preman karena kejahatan mereka dilaksanakan atas dasar keserakahan. Menurut Prof. Teguh Soedarsono, perilaku jahat yang didorong oleh keserakahan dan kecurangan harus diselesaikan di jalur hukum sehingga terwujud keadilan dan kemanfaatan hukum. Dalam menerapkan legal action ini, perlu juga diperhatikan keselarasan antara komponen sistem peradilan pidana dari polisi, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan. Karena tanpa sinergitas seluruh komponen sistem ini, efek dari penegakkan hukum tidak akan tercapai.



BAB IV
KESIMPULAN

Penegakkan hukum tidak dapat dipandang semata-mata memenjarakan orang yang bersalah sebanyak mungkin. Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri harus dapat memberikan kemanfataan dalam masyarakat, salah satunya adalah dengan menyelesaikan permasalahan mendasar yang dialami masyarakat melalui metode pendekatan penataan hukum (legal compliance approach). Dengan melakukan pendekatan penataan hukum tersebut maka tujuan dari hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dengan memberikan pengayoman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya dapat tercapai.
Untuk mengatasi premanisme Kalijodo, pertama kita perlu mengatasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam yang berkembang dan menjadi akar permasalahan di Kalijodo. Selanjutnya, melalui pendekatan penataan hukum terbentuklah kebijakan konprehensif pemerintah yang dapat mengatasi faktor korelatif kriminogen yang menjadi akar permasalahan premanisme di Kalijodo selama ini. Selain itu,perlu upaya penegakkan hukum yang tegas terhadap pimpinan kelompok organisasi preman yang menaungi Kalijodo. Hal ini ditujukan untuk  mewujudkan kondisi masyarakat negara yang patuh hukum (law abiding citizen) sekaligus mewujudkan Polri yang mandiri dan profesional. Semua upaya itu harus terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan dan secara holistik oleh semua komponen masyarakat. Tujuan akhirnya adalah tetap terpeliharanya masyarakat negara yang patuh hukum (law abiding citizen).

















DAFTAR PUSTAKA


Atmasasmita,Romli.2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soedarsono,Teguh.2007.Bianglala: Segantang Wacana dan Aktualisasi Kelangsungan Reformasi Polri yang Berkelanjutan.Jakarta : Mulia Angkasa.
Soedarsono,Teguh.2007.Natralis:Beberapa Saran Hukum dalam Upaya Pembangunan Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Mulia Angkasa.
Soedarsono,Teguh.2009.Alternative Dispute Resoluiton. Jakarta : Mulia Angkasa.
Soedarsono,Teguh.2010.Penegakan Hukum Dan Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal Logging. Jurnal Hukum Vol-1.Jakarta.

Soedarsono,Teguh.2016.Bahan Ajar Mahasiswa STIK-PTIK Angkatan 68: Pembinaan dalam Tupoksi Kepolisian di Bidang Penegakkan Hukum.Jakarta, 4 Maret 2016.

Komentar

Postingan Populer