Analisa Konflik Tolikara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Muslim Tolikara Bisa Shalat Idul Adha, Tapi
GIDI Minta Syarat Ini KIBLAT.NET, Jakarta – Menko Polhukam Luhut
Binsar Panjaitan pada siang ini, Sabtu, (05/09) mengadakan pertemuan dengan
sejumlah tokoh agama, pejabat pemerintah dan aparat keamanan di Tolikara.
Pertemuan itu dilakukan guna membahas proses rekonsiliasi dan persiapan Hari
Raya Idul Adha 1436H di Tolikara. Kepada Kiblat.net, tokoh Islam Karubaga,
Kabupaten Tolikara, Ustadz Ali Muchtar menegaskan bahwa dalam pertemuan itu
pihak Gereja Injili di Indonesia (GIdI) meminta 3 syarat jika kaum Muslimin
Tolikara ingin berlebaran Idul Adha.
“Pertama, mereka
minta nama baik Gereja Injili di Indonesia (GIdI) dibersihkan,” ujar Ustadz Ali
saat dihubungi Kiblat.net melalui sambungan telepon pada Sabtu, (05/09).
Pasalnya, pihak GIdI mengaku sejak meletusnya Tragedi Tolikara pada saat
perayaan Idul Fitri, nama GIdI menjadi kurang baik. Kedua, GIdI minta dua
tersangka yang ditangkap oleh Polda Papua segera dibebaskan. Ketiga, GIdI minta
kasus ini diselesaikan secara adat, tidak menggunakan hukum positif.
“Jika ketiga hal
itu dipenuhi, barulah kaum Muslimin bisa berlebaran. Tapi jika tidak dipenuhi
maka mereka tak bisa memberikan jaminan,” ujarnya. Kendati
demikian, Ustadz Ali menegaskan, Menteri Luhut meminta agar pihak GIdI
menghormati bahwa dalam Tragedi Tolikara semua sama di mata hukum. Sehingga,
hukum positif tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kiblat.net telah berupaya
untuk meminta klarifikasi kepada Presiden GIdI Pendeta Dorman Wandikbo terkait
hal ini, namun Dorman tak bisa dihubungi.
Sebelumnya,
Pada Jumat, (04/09) perwakilan tokoh-tokoh Tolikara ini telah berkunjung ke
Kemenkopolhukam. Namun, saat itu Menteri Luhut sedang di luar kota. Sejumlah
tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Bupati Tolikara Usman G Wanimbo,
Ketua Tim Pemulihan Pasca Bencana Tolikara Pdt. Edi Tangek Rasak, Pendeta GIdI
Imanuel Ginungga, Komandan Kodim (Dandim) 1702/JWY Letkol (Inf) Aidi, dan
sejumlah tokoh lainnya. (http://www.kiblat.net/2015/09/05/muslim-tolikara-bisa-shalat-idul-adha-tapi-gidi-minta-syarat-ini/)
Dari berita di atas dapa kita lihat bahwa telah terjadi konflik sosial yang
terjadi di Tolikara, Papua. Konflik sosial yang terjadi melibatkan antara umat muslim
Tolikara dan umat nasrani Gereja Injili di Indonesia ( GIDI ). Oleh karena itu
di dalam tulisan ini akan dilakukan analisis mengenai konflik sosial yang
terjadi di Tolikara tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana penahapan Konflik Tolikara?
b.
Bagaimana pemetaan Konflik Tolikara?
c.
Bagaimana analisa Konflik Tolikara menggunakan pertanyaan penuntun dalam cara pandang (paradigma)
Restorative Justice?
d.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi berdasarkan Soerjono
Soekanto, dalam melakukan penegakan hukum terkait Konflik Tolikara?
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
PENAHAPAN KONFLIK
Di dalam slide penanganan konflik sosial, dijelaskan
bahwa penahapan konflik adalah grafik yang menunjukkan peningkatan dan
penurunan intensitas konflik yang digambar dalam skala waktu tertentu
Tujuan dari penahapan konflik yaitu :
a.
Melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan
konflik
b.
Membahas pada tahap mana sekarang situasi konflik berada
c.
Memprediksi pola-pola peningkatan intensitas konflik di masa
depan agar tidak terjadi lagi
d.
Mengidentifikasi periode waktu yang dianalisis dengan alat
bantu lain
Penahapan konflik digunakan pada waktu yaitu :
a.
Pada Awal proses analisis untuk mengidentifikasi pola-pola
konflik
b.
Pada Akhir proses untuk membantu menyususn strategi
B.
PEMETAAN KONFLIK
Di dalam slide pelajaran penangana konflik sosial,
dijelaskan bahwa pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan
hubungan di antara para pihak yang berkonflik, baik terlibat langsung atau
tidak
Tujuan pemetaan konflik yaitu :
a.
Lebih memahami situasi dan keterlibatan dalam konflik
b.
Menggambarkan lebih jelas hubungan diantara pihak yang
berkonflik
c.
Mendapatkan letak kekuasaan ada di mana
d.
Memeriksa keseimbangan partisppasi/kegiatan
e.
Mengetahui sekutu-sekutu dan potensinya
f.
Mengidentifikasi awal dari tindakan
g.
Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan
C.
PARADIGMA RESTORATIVE
JUSTICE
Paradigma Restorative Justice
mengorientasikan para pihak yang berkonflik menuju keadilan yang lebih
mendekati adil. Para pihak yang terlibat konflik bersama-sama akan mencari solusi terbaik dan
dirasakan paling mendekati adil bagi mereka. Di dalam paradigma RJ, penyelesaian
tidak terfokus pada konsepsi legistik semata (siapa yang salah melanggar
hukum/siapa yang benar sesuai hukum, siapa yang bertugas melakukan apa/ego
sektoral) akan tetapi lebih dapat menggali dan mengidentifiksasi permasalahan
yang sesungguhnya. Empati dikedepankan kepada para pihak yang berkonflik
Di dalam paradigma RJ, lebih dapat memahami
akibat/konsekuensi dari suatu perbuatan yang
merusak/berpotensi merusak hubungan para pihak yang berkoflik maupun yang terdampak konflik baik langsung
ataupun tidak.Paradigma ini menaruh
perhatian pada kebutuhan, kekuatiran dan harapan dari para pihak yang
berkonflik maupun yang terdampak konflik baik langsung ataupun tidak. Dengan
paradigma ini para pihak yang berkonflik ataupun pemangku kepentingan lainnya
dapat memetakan tindakan apa saja yang perlu dilakukan oleh semua pihak, yang
dapat mengakomodir kebutuhan, kekuatiran dan harapan para pihak yang berkonflik
maupun yang terdampak konflik baik langsung ataupun tidak, dan masyarakat serta
pemangku kepentingan lainnya. Selain itu juga paradigma ini dapat mendorong
para pihak yang berkonflik maupun yang terdampak konflik baik langsung ataupun
tidak, untuk merajut kembali hubungan yang rusak menjadi pulih, sehingga
menutup potensi meluasnya hubungan yang lebih rusak. ( Slide pelajaran
penanganan konflik sosial )
Pertanyaan Penuntun untuk melakukan Analisa
Untuk Memahami Cara Pandang Restorative Justice:
- Siapa saja pihak yang terlibat
langsung (Pelaku/Korban) ?
- Siapa saja pihak Pemangku
Kepentingan yang terlibat (Keluraga Pelaku/ Keluarga Korban/Masyarakat) ?
- Siapa saja pemangku kepentingan
yang telah dirugikan (seluruh pihak atau pihak tertentu saja)?
- Siapa yang memiliki kepentingan
atas kondisi tersebut dan apa kepentingannya?
- Siapa yang terdampak langsung?
- Siapa yang bertanggungjawab
langsung?
- Siapa yang terdampak tidak
langsung?
- Siapa yang bertanggungjawab
tidak langsung?
- Apa yang sesungguhnya
masing-masing pihak (pemangku kepentingan ) butuhkan?
- Apa yang menjadi kekhawatiran
masing-masing pihak (pemangku kepentingan) pada masa yang akan datang?
- Apa harapan masing-masing pihak
(pemangku kepentingan)?
- Siapa saja pihak (pemangku
kepentingan ) yang harus memenuhi kebutuhan dan harapan itu?
- Bagaimana cara jika
masing-masing pihak (pemangku kepentingan) memenuhi kebutuhan dan harapan
itu?
- Apa yang dapat menjadi
kebutuhan bersama para pihak (pemangku kepentingan)?
- Bagaimana cara jika semua/para
pihak (pemangku kepentingan ) memenuhi kebutuhan bersama itu?
- Bagaimana cara meminimalisasi
agar kondisi/hal/kejadian/masalah yang sama tidak terulang kembali
dikemudian hari (mengantisipasi kekuatiran)?
- Bagaimana cara memastikan agar
upaya meminimalisasi kondisi/hal /kejadian/masalah yang sama tidak
terulang kembali dikemudian hari?
- Proses seperti apa yang paling
tepat untuk melibatkan seluruh pihak (pemangku kepentingan) dalam
upaya-upaya menempatkan kembali kepada hal yang benar/seharusnya
(pemulihan/pasca kejadian)?
- Bagaimana cara memastikan atas hal-hal yang telah terselesaikan
dapat terpadu dan berkelanjutan?
- Apa yang telah anda perbuat / lakukan dari semua itu?
( Bahan ajar pelajaran penanganan konflik sosial )
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penahapan Konflik Tolikara.
Penahapan konflik adalah suatu grafik yang
menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang digambar dalam
skala waktu tertentu. Untuk dapat membuat grafik yang
menggambarkan situasi konflik Tolikara maka kita harus mengetahui kronologis
kejadian kerusuhan Tolikara tersebut.
Adapun kronologi kerusuhan Tolikara
sebagaimana dimuat di dalam media tempo adalah sebagai berikut : ( www.tempo.com):
o
Pada
11 Juli 2015, Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus
Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga melayangkan surat imbauan
kepada umat Islam di Tolikara.
o
Nayus
meminta masyarakat muslim menyelenggarakan perayaan Idul Fitri pada 17 Juli
2015 di Karubaga Tolikara. Muslim hanya boleh menggelar salat Idul Fitri di
luar wilayah itu karena pada 13-19 Juli 2015 GIDI menyelenggarakan seminar dan
KKR pemuda GIDI tingkat internasional. Mereka meminta agar muslim mengecilkan
(suara) speaker karena
kegiatannya bersebelahan dengan penyelenggaraan KKR.
o
Surat imbauan ditembuskan ke Kepolisian
Resor dan Pemerintah Daerah Tolikara beberapa hari sebelum Hari Raya Idul
Fitri.
o
Jumat
17 Juli, masyarakat muslim
Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan
pengeras suara di lapangan Markas Komando Rayon Militer (Makoramil)
1702/Karubaga
o
Jemaat GIDI langsung marah dan memprotes
polisi yang berjaga di sekitar lapangan. Mereka protes karena sudah memberi
imbauan, kemudian polisi balik menembak warga. Jemaat GIDI kemudian mulai melemparkan batu
ke arah kios dan Musala Baitul Mutaqin. Mereka juga membakar beberapa rumah,
kios, dan mushola.
o
Sabtu 18 Juli pukul 10.00 WIT pendeta sinode GDI, tokoh agama, pemerintah daerah dan Kapolda Papua melakukan rapat koordinasi
o
Ketua Sinode GDI, kata Oditha, telah menyatakan
permintaan maaf secara lisan lewat telepon dan tulisan lewat pesan pendek.
o
Rabu 29
Juli 2015, Tokoh masyarakat yang mewakili umat Islam dan umat Kristen di
Kabupaten Tolikara, Papua, sepakat untuk menyelesaikan secara adat terkait
insiden yang menyebabkan sejumlah kios dan mushala terbakar pada perayaan Idul
Fitri beberapa waktu lalu. Umat Islam dan Kristen di Tolikara sepakat untuk
saling memaafkan.Kesepakatan itu ditandatangani bersama oleh Ustaz Ali Mukhtar
(Imam Masjid Tolikara), Ustaz Ali Usman, Pendeta Nayus Wonda, Pendeta Marthen
Jingga, dan Pendeta Imanuel B Genongga.
Dari penahapan konflik di atas dapat kita lihat bahwa:
a. Tahap pra konflik dimulai pada saat tanggal 11 Juli perwakilan gereja GIDI
mengirimkan surat kepada umat muslim yang ditembuskan kepada Polres dan TNI.
Surat tersebut berisikan permintaaan kepada umat muslim agar tidak menggunakan
speaker pada saat melaksanakan ibadah solat Id dikarenakan pada saat yang
bersamaan juga diselenggarakan seminar dan KKR GIDI. Surat ini merupakan
artikulasi dari potensi konflik antara GIDI dan umat Islamnya. GIDI merasa
bahwa ibadah sholat Idul Fitri mengganggu kepentingan mereka dalam
penyelenggaraan seminar KKR karena suara speaker yang keras.
b. Kondisi Pra Konflik mulai meningkat
menjadi kondisi konfrontasi pada tanggal 17 Juli 2015. Pada hari itu
umat muslim tetap menggunakan speaker pada saat melaksanakan ibadah sholat Id.
Hal ini memancing protes dari umat kristen GIDI yang kemudian pada pukul 7.00
WIT mendatangi Lapangan tempat dilaksanakannya sholat Id untuk menghimbau agar
sholat Id dibatalkan. Jemaat gereja kemudian melempari Mushola dengan batu dan
membuat umat Islam yang sedang melaksanakan sholat Id panik. Massa dari jemaat
gereja semakin banyak berdatangan dan terjadilah adu mulut antara kedua belah
pihak. Pihak jemaat gereja tetap menginginkan untuk mebubarkan ibadah sholat
Id. Akibatnya sekitar pukul 7.10 WIT umat kristen GIDI mengamuk dan melemparkan
batu ke arah umat muslim yang melaksanakan sholat dan juga membakar mushola.
c. Tahap krisis
terjadi pada pukul 07.20 WIT saat massa bertadangan semakin banyak dan secara
bersama-sama melakukan pelemparan batu kepada mushola, umat islam di lokasi
kejadian serta aparat keamanan yang
menjaga lokasi tersebut. Kemudian munculah isu
bahwa anggota kepolisian menembaki jemaat gereja. Akhirnya pada pukul 7.50 WIT
massa melakukan
aksi pembakaran kios yang berada didekat masjid. Petugas yang berada di pihak
netral akhirnya harus mengambil langkah dalam mencegah tahap krisis berkembang
lebih jauh lagi.
d. Pada sekitar pukul 9.00 WIT bangunan mushola dan kios disekitarnya mulai
terbakar akibat tindak kekerasan yang dilakukan. Perasaan takut akan menjadi
korban kekerasan juga menyelimuti warga muslim di sekitar lokasi kejadian.
Kondisi ini merupakan tahapan akibat konflik dimana timbul korban baik materi
dan psikis akibat berlangsungnya krisis.
e. Setelah kejadian pada hari Sabtu 18 Juli pukul 10.00 WIT pendeta Sinode GDI, tokoh agama, pemerintah daerah dan Kapolda Papua melakukan rapat koordinasi untuk membahas mengenai
kerusuhan yang terjadi. Lalu setelah itu pada hari Rabu 29 Juli 2015,
Tokoh masyarakat yang mewakili umat Islam dan
umat Kristen di Kabupaten Tolikara, Papua, sepakat untuk menyelesaikan secara
adat terkait
dimana kesepakatan ini dituangkan di dalam perjanjia yang ditandatangani oleh Ustaz Ali Mukhtar (Imam Masjid Tolikara), Ustaz Ali Usman, Pendeta
Nayus Wonda, Pendeta Marthen Jingga, dan Pendeta Imanuel B Genongga. Pasca konflik kondisi
harus dijaga agar konflik tidak terulang kembali, serta perlu langkah guna
memulihkan hubungan yang rusak antara pihak yang berkonflik.
B. Pemetaan Konflik Tolikara
Pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual
yang menggambarkan hubungan di antara para pihak yang berkonflik, baik terlibat
langsung atau tidak. Jadi untuk dapat melakukan
pemetaan terhadap konflik Tolikara maka yang harus dilakukan adalah
mengidentifiaksi aktor – aktor yang terlibat di dalam konflik dan isu – isu apa
saja yang menyebabkan konflik Tolikara itu terjadi.
Jika kita analisa maka aktor – aktor
yang terlibat di dalam konflik Tolikara antara lain :
1. Umat muslim Tolikara
2. Umat kristen GIDI
3. TNI / POLRI
4. Pemerintah Daerah Papua
5. Ketua Sinode GIDI Pusat
6. Kementrian Agama
Setelah kita menganalisa aktor – aktor
yang terlibat maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi faktor – faktor
yang menyebabkan konflik terjadi. Ada beberapa hal yang dapat dianalisis
penyebab konflik Tolikara. Pada dasarnya bukan disebabkan oleh perbedaan agama
akan tetapi ada isu- isu lain yang dapat menjadi penyebab. Seperti diketahui
bahwa penduduk asli Papua memeluk agama kristen sedangkan pemeluk Islam
sebagian besar adalah masyarakat pendatang. Bila kita lihat bahwa di Papua,
tingkat kesejahteraan masyarakat asli tertinggal dibandingkan dengan masyarakat
pendatang. Terjadi kesenjangan sosial antara penduduk asli Papua dan pendatang.
Hal ini disebabkan tingkat pendidikan warga asli yang masih tertinggal sehingga
menjadi penyebab kenapa tingkat kesejahteraan warga asli tertinggal
dibandingkan warga pendatang. Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka mereka
akan mudah untuk diprovokasi dan disulut emosinya untuk melakukan tindakan –
tindakan anarkis sebagaimana terjadi di Tolikara.
Setelah kita mendata
aktor – aktor yang terlibat dan juga isu – isu penyebab konflik Tolikara maka
jika kita gambarkan adalah sebagai berikut :
C. Analisa Konflik Tolikara menggunakan Pertanyaan Penuntun dalam cara
pandang (paradigma) Restorative Justice;
Setelah kita melakukan penahapan dan pemetaan konflik
Tolikara, maka langkah kita selanjutnya adalah dengan melakukan analisa
menggunakan paradigma restorative justice. Dengan menggunakan pendekatan
restorative justice, kita berusaha mencari jalan keluar yang adil bagi semua
pihak tanpa ada yang merasa dirugikan. Untuk melakukan analisa konflik dengan
menggunakan pendekatan restorative justice, kita akan menggunakan panduan
pertanyaan – pertanyaan yang telah ada.
Di dalam konflik Tolikara, pihak yang terlibat adalah
umat muslim Tolikara dan umat nasrani GIDI. Pemangku kepentingan yang terlibat
antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat, TNI , Polri serta masyrakat
Tolikara di dalam konflik tersebut. Adapun yang telah dirugikan akibat konflik
ini adalah selain umat muslim Tolikara juga seluruh pemangku kepentingan. Hal
ini dikarenakan dengan adanya konflik ini maka stabilitas kamtibmas di Tolikara
menjadi tidak kondusif sehingga menyebabkan gangguan kamtibmas di dalam
masyarakat. Dengan adanya gangguan kamtibmas ini maka seluruh kegiatan yang ada
akan terganggu dan menyebabkan kerugian bagi semua pihak baik kerugian materi
maupun non materi. Yang terdampak langsung tentu saja umat muslim Tolikara
dimana jatuh korban sebanyak 10 orang terluka dan 1 orang tewas. Adapun pihak –
pihak yang terdampak tidak langsung adalah masyarakat Tolikara yang hidup di
dalam kekhawatiran dimana ditakutkan konflik yang terjadi akan semakin meluas
dan menyebabkan kehidupan mereka menjadi terganggu, bayang – bayang kerusuhan
Ambon dan Kalimatan juga membayangi masyarakat Tolikara sehingga mempengaruhi
segala aspek kehidupan. Masyarakat takut keluar rumah dan tidak dapat melakukan
aktivitas sebagaimana mestinya.
Kemudian jika kita melihat siapa yang bertanggung jawab
atas kejadian ini, maka kita
tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Karena sebagaimana kita analisa pada
tahap pemetaan konflik bahwa konflik Tolikara ini disebabkan berbagagi faktor
dan isu yang tidak hanya disebabkan faktor agama akan tetapi juga menyangkut
faktor ekonomi dan pendidikan yang diperoleh oleh masyarkat Tolikara. Oleh
karena itu maka yang bertanggung jawab terhadap terjadinya konflik Tolikara ini
adalah selain masyarakat Tolikara yang melakukan penyerangan maka pemerintah
baik pemerintah pusat maupun daerah juga yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya konflik tersebut.
Apa yang sebenarnya masing – masing pemangku kepentingan
butuhkan adalah adanya kemauan untuk turun langsung ke lapangan dan melihat situasi
dan kondisi yang terjadi di masyarakat. bagaimana situasi dan kondisi masyarkat
asli Papua yang ternyata tingkat pendidikanya masih sangat kurang dibandingkan
masyarakat pendatang. Kemudian para pemangku kepentingan juga harus melihat
bagaimana situasi dan kondisi perekonomian masyarakat asli Papua yang sangat
memprihatinkan. Sebagian besar penduduk yang masih tinggal di dalam hutan dan
belum mendapatkan kesejahteraan yang layak menjadi tanggung jawab semua pihak.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mampu mengidentifikasi
permasalahn - permasalahan ini dan
perlahan – lahan memperbaiki dan membuat program yang dapat mengatasi
permasalahan tingkat pendidikan dan kesejateraan masyarkat.
Yang menjadi kekhwatiran masing – masing pamangku kepentingan
adalah jika masyarakat Papua mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi maka pola
fikir mereka akan bertambah maju dan tentu saja ini bisa mengancam para oknum –
oknum yang memanfaatkan hal tersebut. Sebagi contoh jika masyarkat Papua
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka praktek – praktek korupsi akan
terbongkar. Kemudian juga masyarkat akan semakin kritis dan akan mengkritisi
kebijakan – kebijakan yang tidak menguntungkan masyrakat Papua. Contoh adalah
permasalahan Freport dimana keuntungan yang dihasilkan ternyata tidak digunakan
untuk pembangunan Papua. Hal ini tentu saja akan menjadi polemik dan akan
dipertanyakan jika kualitas sumber daya di Papua menjad semakin tinggi. Hal
inilah yang bisa saja menyebabkan pihak – pihak yang terkait tidak ingin
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Papua.
Harapan yang diinginkan oleh masing – masing pihak adalah
agar semua masyarakat yang ada di Tolikara dapat hidup berdampingan tanpa
adanya konflik antara masing – masing kelompok. Dengan hidup berdampingan maka
aspek – aspek kehidupan dapat berjalan dengan lancar. Agar harapan tersebut
dapat tercapai tentu saja membutuhkan peranan dari semua pihak yang terlibat,
mulai dari masyarakat Tolikara sendiri baik pribumi maupun pendatang serta
peran serta pemerintah di dalamnya. Masing – masing pihak harus mau
menghilangkan ego sektoral dan ego kelompok untuk bersama – sama mempunyai rasa
senasib dan sepenanggunga. Jiwa tenggang rasa yang ada di dalam Pancasila harus
benar – benar diterapkan dan dilaksankan. Pemerintah juga harus mempunyai
tujuan untuk memertakan pembangunan di semua wilayah di Indonesia sehingga
tidak terjadi kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan cara
ini maka persatuan dan kesatuan di dalam diri bangsa Indonesia akan tetap utuh
dan terjaga.
Adapun cara untuk menyelesaikan konflik Tolikara agar tidak terjadi kembali
yaitu dapat dilakukan dengan cara :
1. Melakukan mediasi antara umat muslim dan kristen GIDI untuk
menyelesaikan kesalah pahaman yang terjadi secara kekeluargaan.
2. Pemerintah melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebebasan
beragama yang dilindungi oleh negara
3. Pemerintah melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Papua
agar tingkat pemahaman mereka menjadi bertambah dan tidak mudah terprovokasi.
4.Pemerintah mengusakan agar kesenjangan perekonomian yang terjadi di
Tolikara tidak semakin melebar.antara lain dilakukan dengan cara membuka
lapangan kerja yang dapat menyerap penduduk asli Papua sehingga kesenjangan
sosial dapat dikurangi.
5.Mengadakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan kedua belah
pihak sehingga muncul rasa memiliki dan kebersamaan dari kedua belah pihak yang
bertikai.
6.Menindaklanjuti kasus pidana yang terjadi yaitu pengrusakan dan
pembunuhan dan mencari provokator penyebab kejadian dan memproses secara hukum
sehingga masyarakat mengetahui dalang dari kerusuhan tersebut dan tidak saling
menuduh.
7.Mengajak umat kristen GIDI untuk bersama – sama memperbaiki rumah dan
mushola yang rusak akibat kerusuhan sehingga menimbulkan kembali rasa
kekeluargaan diantara kedua pihak.
Jadi di atas adalah
analisis terhadap konflik Tolikara melalui paradigma restorative justic dan
juga beberapa alternaitif penyelesaian konflik Tolikara yang dapat digunakan
oleh pihak – pihak yang terlibat.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi berdasarkan Soerjono
Soekanto,
dalam melakukan
penegakan hukum terkait Konflik Tolikara
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya
suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1.
Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di Dalam kasus Tolikara kita dapat melihat bahwa telah terjadi ketidak
patuhan terhadap hukum yang ada. Di dalam undang – undang kita jelas telah
diatur bahwa kebebasan beragama masayarakat dilindungi oleh negara.sehingga
tiap warga negara berhak memeluk kepercayaan yang diyakini. Selain itu juga
peristiwa pembakaran dan pengrusakan serta pembunuhan adalah suatu tindak
pidana yang telah diatur di dalam KUHP Indonesia.Jadi di dalam kasus Tolikara
terlah terjadi ketidak patuhan terhadap hukum yang berlaku. Bila kita analisis
dengan menggunakan teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto maka dapat kita
lihat sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya
Dasar hukum
yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu:
Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945juga diakui
bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama
Jadi di dalam UUD 1945 telah
dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut
agama dan kepercayaan mereka. Tidak boleh ada warga negara yang melakukan pelarangan
terhadap warga negara yang ingin melakukan kegiatan agamanya. Jadi tindakan yang dilakukan oleh umat
kristen GIDI adalah pelanggaran terhadap UUD 1945. Kemudian peritiwa
pengrusakan dan pembunuhan yang terjadi juga telah diatur ancaman pidananya di
dalam KUHP. Sehingga berdasarkan aturan – aturan tersebut maka penegakan hukum
atas kasus Tolikara dapat dilakukan terhadap para pelaku yang melakukan. Hal
ini dikarenakan aturan – aturan yang telah mengatur hal tersebut telah ada dan
dapat digunakan.
2. Faktor penegakan hukum
Faktor kedua yang mempengaruhi penegakan hukum adalah penegak hukumnya itu
sendiri. Polri sebagai aparat negara yang bertugas melakukan penegakan hukum
maka harus memiliki profesionalitas dan mentalitas yang baik di dalam melakukan
penanganan kasus Tolikara. Polri harus melakukan penanganan secara terbuka,
transaparan dan akuntabel terhadap seluruh masyarakat sehingga diketahui
penyebab pasti kerusuhan tersebut dan siapa saja yang menjadi dalang dalam
kerusuhan tersebut.
Selain profesionalitas dan mentalitas dalam penanganan kasus tersebut,
anggota Polri harus memiliki pemahaman yang cukup tentang aturan – aturan yang
telah ditetapkan. Jangan sampai anggota Polri tidak memahami aturan – aturan
yang ada sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu setiap
anggota Polri harus mengetahui apa yang menjadi tugas pokok dan tanggung jawab
dari masing – masing anggota. Dengan melaksankan hal tersebut maka penegakan
hukum dapat berjalan dengan baik.
3.
Faktor sarana dan prasarana
Untuk dapat melakukan penanganan yang
profesional terhadap suatu peristiwa tentu saja diperlukan sarana dan prasana
bagi pihak yang melakukan penaganan. Di dalam kasus Tolikara , maka pihak
kepolisian harus memiliki sarana dan prasarana di dalam melakukan penyidikan.
Kendaraan untuk mencapai lokasi kejadian harus terpenuhi dan perlengkapan –
perlengkapan tambahan seperti alat identifikasi, alat perlindungan diri dan
alat pertahanan harus dimiliki sehingga pada saat tiba di lokasi kejadian maka
dapat segera melakukan penanganan dan juga dengan tetap menjaga keselamatan
diri masing – masing.
4.
Faktor masyarakat
Salah satu faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini dikarenakan suatu aturan
dibuat untuk melindungi masyarakat yang hidup
di dalam suatu wilayah. Sehingga hukum dibuat untuk kepentingan
masyarakat itu sendiri. Sehingga sudah seharusnya masyarakat memiliki kesadaran
untuk menaati hukum yang berlaku. Akan tetapi di dalam kasus Tolikara,
masyarkat tidak mempunyai kepatuhan terhadap hukum. Hal ini dikarenakan faktor
sumber daya masayarakat yang masih kurang sehingga mudah untuk terprovokasi dan
melakukan pelanggaran hukum.
5.
Faktor Budaya
Budaya memilik peranan yang sangat
penting di dalam mengatur masyarakat bagaimana bertindak di dalam kehidupan
bermasyarakat. Jadi budaya memiliki perananan yang sangat penting di dalam
kehidupan sehari – hari. Budaya Papua yang masih kental dengan nuansa kekerasan
dan perang antar suku tentu saja turut mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat
Papua. Tentu saja hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa peristiwa
Tolikara dapat terjadi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Tahapan konflik
Tolikara terdiri dari pra konflik, konfrontasi, krisis,akibat konflik dan pasca
konflik.
2. Berdasarkan pemetaan konflik, maka konflik Tolikara melibatkan umat Islam, umat kristen GIDI,TNI – Polri,
pemerintah daerah dan pusat serta disebabkan oleh isu ekonomi, tingkat
pendidikan dan kesenjangan sosial.
3. Berdasarkan pendekatan paradigma restorative justice, maka proses
penyelesaian konflik Tolikara harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan
melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab.
4.
Faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum konflik Tolikara antara lain :
a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan
hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan,
B. SARAN
Adapun saran untuk
menyelesaikan konflik Tolikara agar tidak terjadi kembali yaitu dapat dilakukan
dengan cara :
1. Melakukan mediasi antara umat muslim dan kristen GIDI untuk
menyelesaikan kesalah pahaman yang terjadi secara kekeluargaan.
2. Pemerintah melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebebasan
beragama yang dilindungi oleh negara
3. Pemerintah melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Papua
agar tingkat pemahaman mereka menjadi bertambah dan tidak mudah terprovokasi.
4.Pemerintah mengusakan agar kesenjangan perekonomian yang terjadi di
Tolikara tidak semakin melebar.antara lain dilakukan dengan cara membuka
lapangan kerja yang dapat menyerap penduduk asli Papua sehingga kesenjangan
sosial dapat dikurangi.
5.Mengadakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan kedua belah
pihak sehingga muncul rasa memiliki dan kebersamaan dari kedua belah pihak yang
bertikai.
6.Menindaklanjuti kasus pidana yang terjadi yaitu pengrusakan dan
pembunuhan dan mencari provokator penyebab kejadian dan memproses secara hukum
sehingga masyarakat mengetahui dalang dari kerusuhan tersebut dan tidak saling
menuduh.
7.Mengajak umat kristen GIDI untuk bersama – sama memperbaiki rumah dan
mushola yang rusak akibat kerusuhan sehingga menimbulkan kembali rasa
kekeluargaan diantara kedua pihak
DAFTAR PUSTAKA
Slide Pelajaran Penanganan Konflik
Semoga aman aman saya
BalasHapus