SISTEM KEPOLISIAN IDEAL DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Salah satu tugas dari sebuah pemerintahan negara
adalah menjamin warganya dapat hidup dan
beraktivitas dengan aman dan tentram. Atas dasar itulah para
adminitrator negara ini mempunyai kewajiban untuk menciptakan sebuah instrumen
yang bertugas untuk mewujudkan rasa aman itu. Instrumen negara yang bertugas
untuk memelihara keamanan dan ketertiban di Indonesia adalah Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, tentunya kepolisian harus
mempunyai sebuah sistem yang dapat melaksanakan fungsi manajemen kepolisian
sehingga berhasil mencapai tujuan utama yaitu public safety. Keberhasilan sebuah negara untuk mewujudkan keamanan
bergantung kepada ketepatan sistem kepolisian yang dibentuk dan dijalankan.
Sitem kepolisian terdiri dari dua kata yaitu kata sistem dan kepolisian.
Untuk menjawab pengertian sistem kepolisian maka kita harus mengetahui arti
dari kata-kata tersebut. Sistem adalah suatu
kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian/ komponen yang saling berkaitan, saling
ketergantungan, saling bekerja sama berdasarkan aturan tertentu, untuk
mencapai tujuan dari sistem (Prof. Dr.Djoko Sutono, C.W. Churchman, Mattheus,
Lempiro). Sistem terdiri dari komponen /
subsistem yang saling bekerja sama satu dengan yang lainnya. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu komponen/
subsistem maka akan membuat kinerja sistem menjadi terganggu.
Sedangkan arti kata
"kepolisian" dapat kita lihat dari tida sisi yang berbeda yaitu
sebagai individu, organ dan fungsi. (1) Kepolisian sebagai individu dapat diartikan sebagai sebuah
profesi yang melekat pada jati diri penegak hukum dan pelayanan masyarakat yang
selalu dekat dengan masyarakat. (2) Kepolisian sebagai organ kepolisian mengandung
arti bahwa kepolisian adalah sebuah institusi yang otonom yang bentuknya terkait dengan model sistem pemerintahan dan
sistem peradilan pidana yang berlaku di suatu negara. Kepolisian merupakan
organ penunjang dari sebuah sistem organ yang lebih besar yaitu negara. (3) Kepolisian sebagai
sebuah fungsi dalam sebuah sistem sosial
adalah sebuah bagian yang bertugas menjalankan fungsi kontrol sosial sehingga
nilai-nilai yang dirasa baik oleh kelompok tersebut tetap terjaga. Pada
akhirnya tugas kontrol sosial tersebut berkembang menjadi tugas untuk menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara universal kepolisian berfungsi
sebagai aparat penegak hukum (law enforcement), pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat (Order maintenance), pelayanan masyarakat (public
service) serta sebagai problem solver di masyarakat.
Dari
pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem kepolisian adalah sebuah
organisasi yang terdiri dari beberapa subsistem kepolisian yang dibentuk oleh
masyarakat / negara sebagai lembaga kontrol sosial untuk menjaga nilai-nilai
luhur yang dipercaya masyarakat. Fungsi pengajaan nilai-nilai luhur itu
kemudian diterjemahkan lebih jauh sebagai fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Secara universal kepolisian berfungsi sebagai aparat penegak hukum (law
enforcement), pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Order maintenance),
pelayanan masyarakat (public service) serta sebagai problem solver di
masyarakat.
Karena
sistem kepolisian ini dipengaruhi oleh sistem sosial yang berlaku dalam suatu
wilayah maka bentuk dari sistem kepolisian ini berbeda antara satu negara dengan
negara yang lain. Selain sistem sosial, hal lain yang sangat mempengaruhi
sistem kepolisian suatu negara adalah sistem pemerintahan dan politik di negara
tersebut. Negara merupakan sebuah supra sistem dimana di dalamnya terdapat sub sistem yang lebih spesifik seperti
kepolisian. Hubungan antara sub sistem dan supra sistem ini sangat berkaitan
erat menghadapi perkembangan situasi di sekitarnya. Dan karena dinamika politik
akan secara dinamis mempengaruhi bentuk dari pemerintahan tersebut, hal ini
juga akan membawa pengaruh kepada bentuk sistem kepolsian dari suatu negara.
Hal ini tidak lain karena kepolisian merupakan bagian dari birokrasi yang
terdapat dalam susunan administrasi suatu
negara.
Secara
umum, sistem kepolisian di negara demokratis dapat dibagi menjadi 3 kelompok
paradigma bergantung pada karakteristik fundamental dari setiap negara, antara
lain:
- Fragmented system of policing ( sistem kepolisian yang terpisah
atau berdiri sendiri ). Adalah sebuah sistem desentralisasi wewenang
kepolsiian yang ekstrem atau tanpa sistem dimana sistem kepolisian pada
setiap daerah dapat berbeda-beda sesuai yang ditentukan oleh
daerah/provinsi masing-masing. Sistem kepolisian ini dianut karena adanya
kekhawatiran terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh
kepolisian oleh pemerintah pusat. Pada sistem kepolisian ini kepolisian
mempunyai kewenangan yang terbatas terkait daerah yuridiksinya,
pengawasannya diawasi oleh pemerintah lokal, dan sistem penegakkan
hukumnya berdisi sendiri/ terpisah.
b. Centralized System of Policing. (Sistem
kepolisian terpusat atau sentralisasi). Pada Sistem
Kepolisian Terpusat, kewenangan kepolisian diambil langsung oleh
pemerintah nasional / pusat. Segala kebijakan dan pengambilan keputusan
strategik berada dibawah
kendali dan pengawasan langsung oleh Pemerintah. Kewenangan pusat yang
sangat besar ini kemudian dikhawatirkan menjadi sebuah sarana penyalahguanan
yang menempatkan Kepolisian sebagai salah satu alat kekuasaan pemerintah.
Sistem biasanya dianut oleh pemerintahan rezim
totaliter seperti negara Jerman pada era Nazi.
c. Integrated System of Policing (Sistem
kepolisian Terpadu). Sistem kepolisian terpadu adalah sistem kepolisian
yang membagi kewenangannya kepada daerah-daerah namun ada juga sistem kontrol
yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Tujuannya adalah agar pengawasan lebih
baik dan ada penetapan standar pelayanan yang memberikan pelayanan kepolisian
yang lebih efektiv dan efisien dalam suatu negara. Walaupun kewenangan
kepolisian terbatas pada wilayah namun koordinasi dibantu dilakukan oleh
pemerintah pusat. Integrated
System of Policing merupakan kombinasi antara Centralized System of Policing
dan Fragmented system of policing.
Setelah
mengetahui apa arti dari sistem kepolisian dan berbagai jenis paradigma sistem
kepolisian di berbagai negara, maka timbul pertanyaan mengenai sistem
kepolisian ideal yang cocok dengan karakteristik Indonesia. Seperti yang
penulis jelaskan sebelumnya bahwa keberhasilan suatu negara menciptakan
keamanan dalam negaranya tergantung pada bagaimana negara tersebut memilih dan
menjalankan sistem kepolisiannya. Untuk menjawab pertanyaan itu, penulis mencoba
untuk pertama-tama mengenal karakteristik kepolisian di Indonesia dilihat dari
segi aspek sejarah, sistem
ketatanegaraan, sistem tradisional, serta hakekat ancaman kamtibmas yang harus
dihadapi. Dari analisa keempat aspek ini maka dapat diketahui bagaimana sistem
kepolisian yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
II. KARAKTERISTIK SISTEM KEPOLISIAN INDONESIA
Untuk lebih
memahami bagaimana karakteristik sistem kepolisian Indonesia, maka kita harus
melihatnya melalui aspek
sejarah, sistem ketatanegaraan, sistem budaya dan sistem sosial, serta hakekat
ancaman kamtibmas yang harus dihadapi. Keempat aspek ini, nantinya akan
mengkonstruksi sebuah karakter sistem kepolisian yang ideal diterapkan di
Indoesia.
A. Aspek Sejarah.
Sejarah kepolisian Indonesia dimulai dada zaman Kerajaan Majapahit saat Mahapatih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut
dengan Bhayangkara yang bertugas
melindungi raja dan kerajaan. Dilanjutkan kemudian pada masa kolonial Belanda, dibentuk juga pasukan keamanan yang berasal dari
orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada masa itu sudah terbentuk
organisasi kepolisian dengan pembagian tugas yang spesifik dan berjenjang.
Sesuai dengan sistem administrasi negara pada waktu itu, terdapat juga
perbedaan jabatan yang diisi oleh pribumi dan Belanda. Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah
merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia
saat ini.
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, organisasi kepolisian di Indonesia dibagi menjadi beberapa badan kepolisian
berdasarkan daerahnya dan dikepalai seorang kepala polisi daerah. Pembagian
kepolisian berdasarkan daerah ini mirip dengan sistem kepolisian yang
diterapkan oleh Jepang yang menganut sistem kepolisian terpadu.
Pada zaman kemerdekaan Badan Kepolisian Negara (BKN)
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI dan dilanjutkan dengan
pelantikan R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN)
oleh Presiden Soekarno. Pada awalnya kepolisian berada dalam Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang
hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional
bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah didirikanlah Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung
jawab langsung kepada Perdana Menteri. Akibat Konferensi Meja Bundar yang
menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS), kepolisian negara pun terbagi-bagi
atas negara bagian mengikuti bentuk negara. Namun saat RIS bubar dan kembali
menjadi Republik Indonesia, Kepolisian pun kembali ke sistem kepolisian
terpusat serta membentuk 11 kepolisian provinsi untuk melaksnakan fungsinya.
Pada zaman orde baru kepolisian Indonesia berada di
bawah naungan ABRI bersama dengan AD, AL, dan AU. Pada saat itu kepolisian
selain menjalankan fungsi sipilnya menjaga ketertiban, polisi juga menjalankan
fungsi militer sebagai salah satu bagian dari pertahanan negara. Pada kurun
waktu itu polisi berkarakter militeristik dan dianggap masyarakat sebagai alat
kekuasaan pemerintahan. Masa itu berakhir ketika reformasi dan terjadi
pemisahan kekuatan sipil kepolisian dari ABRI melalui Tap MPR/VI/2000 dan Tap
MPR/VII/2000 tentang Pemisahan Kekuatan TNI dan Polri. Hal itu terdapat dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa:
(1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas,,
menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (2)
Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan
secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non departemen
tapi di bawah Presiden. Setelah itu Polri berdiri sebagai institusi yang
independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Polri kemudian
mengatur organisasinya untuk melaksanakan tugas menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
B. Aspek Sitem Ketatanegaraan.
Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari
banyak pulau dan budaya yang beragam. Sebelum merdeka, Indonesia telah
mengalami sejarah masa penjajahan yang panjang. Atas dasar rasa senasib dan
sepenanggungan itulah kemudian para founding
fathers kita bersatu untuk melawan penjajah dan akhirnya memperoleh
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejak saat itu, Indonesia adalah negara
merdeka yang berhak untuk mengatur pmerintahannya sendiri. Pemerintah saat itu
menentukan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan, bukan sebagai negara federal
yang terbagi-bagi. Namun dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan
sistem ketatanegaraan yang sampai akhirnya pada Indonesia yang sekarang ini. Menurut
UUD 1945, Inonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah
suatu sistem ketatanegaraan yang khas menurut kepribadian bangsa indonesia. Sistem
ketatanegaraan Republik indonesia ini tidak terlepas dari ajaran Trias Politica
Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu Legislatif,
Eksekutif, dan Judikatif. Eksekutif
yang terdiri dari Presiden, wakil dan menteri kabinet memiliki fungsi pelaksana
undang-undang dalam menjalankan negara, Legislatif yang terdiri dari MPR, DPR,
DPRD, dan DPD memiliki fungsi membuat undang-undang, dan Yudikatif memiliki
fungsi memertahankan pelaksanaan undang-undang.
Sistem kepolisian Indonesia sangat bergantung dari
sistem ketatanegaraan Indonesia karena kepolisian merupakan salah satu bagian
dari administrasi negara. Berubahnya sistem ketatanegaraan juga akan
mempengaruhi sistem kepolisian yang berlaku. Seperti yang terjadi pada tahun
1950 saat Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, maka organisasi
kepolisian saat itu ikut berubah menjadi kepolisian negara bagian yang
terpisah-pisah.
3. Aspek Tradisional.
Budaya merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi
bentuk sistem kepolisian suatu negara karena pada dasarnya tugas kepolisian dimanapun
selalu bersentuhan dengan masyarakat. Masyarakat hidup dan berjalan sesuai
dengan nilai dan norma budaya yang dianut. Seringkali nilai-nilai budaya yang
dijunjung tersebut berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain. Indonesia
secara geografis maupun demografis mempunyai karakteristik yang sangat beragam.
Menurut BPS pada tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa yang hidup di Indonesia.
Keragaman ini tentunya membawa juga keragaman budaya yang hidup dan saling
berinteraksi satu sama lainnya.
Setiap budaya mempunyai sistem sosial yang berbeda.
Sudah sebuah hal yang pasti setiap sistem sosial menjaga nilai dan norma itu
sehingga tetap lestari. Caranya adalah dengan membentuk instrumen kontrol
sosial yang bertugas memastikan anggota suatu masyarakat mematuhi nilai dan
norma tersebut. Polisi disini memiliki tugas ganda selain sebagai lembaga
kontrol sosial yang menjaga sistem sosial di masyarakat, polisi juga merupakan
kepanjangan dari negara untuk mengatur masyarakat sehingga sejalan dengan arah
pembangunan nasional. Berdiri di atas peran ganda ini, polisi yang mempunyai
fungsi menjaga kamtibmas dan menegakkan hukum wajib menyesuaikan sikap dan
perilakunya sehingga tidak terjadi konflik antara polisi dan masyarakat. Pada
akhirnya untuk memperoleh sebuah sistem kepolisian yang ideal bagi bangsa
Indonesia kita juga perlu mempertimbangkan keragaman budaya yang berkembang di
Indonesia.
D. Aspek Hakekat Ancaman Kamtibmas.
Kondisi multi etnis, kekayaan alam yang luar biasa
banyak, wilayah yang luas, dan terdiri dari banyak pulau merupakan sebuah modal
keragaman yang sangat menguntungkan bagi Indonesia. Tetapi hal tersebut tidak
datang tanpa meninggalkan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kondisi Indonesia yang multi etnis dapat membawa bahaya perpecahan dan
kerusuhan antara etnis. Gelombang perkembangan ekonomi sering membawa arus
penduduk ke daerah tertentu dan menggusur keberadaan penduduk lokal. Timbulnya
kelompok dominan dan kelompok minoritas yang tidak berinteraksi dengan baik
membawa hakekat ancaman yang tidak bisa diacuhkan. Seperti beberapa contoh
kasus yang terjadi di kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dimana
timbul konflik antar suku bangsa yang berujung kepada jatuhnya korban jiwa dan
rusaknya harta benda milik masyarakat. Keberadaan polisi dan tindakan polisi
sangat berkaitan dengan hal ini karena menjaga kamtibmas dan melindungi harta
benda merupakan tugas pokok kepolisian.
Hakekat ancaman lainnya timbul karena perkembangan
ekonomi dan adopsi tekhnologi yang dewasa ini semakin pesat. Dukungan peralatan
yang canggih membuat masyaraka semakin mudah melaksanakan pekerjaannya
sekaligus membawa kemudahan bagi para kriminal untuk berbuat kejahatan.
Kejahatan penipuan saat ini sudah sangat mudah dilakukan dan terkadang pelaku
dalam melaklukan kejahatannya tidak harus bertemu dengan korban. Seperti
sindikat penipuan "mama minta pulsa" yang belakangan ini ramai
dibicarakan di media. Mereka melakukan aksinya hanya dengan duduk di depan
komputer dan bisa menipu banyak korban di seluruh Indonesia. Tidak
tanggung-tanggung, mereka dapat memperoleh hasil puluhan miliyar per tahun dari
hasil melakukan kejahatan tersebut. Kejahatan seperti ini hanya satu contoh
dari banyak kejahatan yang memanfaatkan tekhnologi sebagai alat bantunya. Kejahatan
yang dilakukan lintas daerah ini memerlukan penanganan yang komprehensif dan
lintas daerah sehingga membutuhkan kerjasama antar kepolisian di seluruh
Indonesia. Karenanya perlu sebuah sistem yang lebih luwes dan yang tidak
terbatas pada lingkup daerah saja.
III. SISTEM KEPOLISIAN IDEAL INDONESIA
Menentukan
sistem kepolisian yang ideal berarti menciptakan sebuah sistem yang dapat
memanfaatkan faktor kelebihan dan peluang yang dimiliki serta dapat mengatasi kekurangan dan menangkal ancaman
yang dihadapi. Pengetahuan mengenai perbandingan sistem kepolisian dari
berbagai negara perlu untuk dipahami sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan menentukan formula yang paling cocok digunakan di Indonesia.
Formula itu tentunya dengan memperhatikan jatidiri bangsa dan karakteristik
lingkungan yang akan dihadapi kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Segala
faktor penentu itu secara umum dapat kita lihat dari aspek sejarah, sistem ketatanegaraan, sistem
tradisional, serta hakekat ancaman kamtibmas yang harus dihadapi. Dengan
mempertimbangkan beberapa aspek tersebut, maka kita dapat menilai bagaimana
sistem kepolisian yang ideal yang bersifat Indonesia.
Setelah
menguraikan keempat aspek tersebut dalam bab sebelumnya, kita dapat menilai
bagaimana sistem kepolisian yang cocok di Indonesia. Penulis ingin menegaskan
sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan kepolisian disini bukan hanya Polri namun
seluruh pengemban fungsi kepolisian di negara Indonesia. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi "Pengemban fungsi Kepolisian adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus,
b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa".
Sejarah
menunjukkan bahwa kepolisian sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka,
tujuannya masih sama yaitu untuk menjaga kamtibmas dan menjaga harta beda. Dari
sejarah kita mengetahui bahwa setelah proklamasi kemerdekaan, polisi seluruh
Indonesia dengan serempak segera melucuti senjata Jepang dan mengambil alih
markas-markas Jepang. Pada awal pembentukan kepolisian setelah kemerdekaan, RS.
Soekanto sebagai kepala polisi pertama bersikukuh untuk membentuk sistem
kepolisian yang terpusat. Alasan yang mendasari hal itu adalah karakteristik
wilayah dan masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Akan menjadi sebuah
ketidak sesuaian jika persatuan dan kesatuan, yang dijunjung oleh negara
sebagai sebuah falsafah perjuangan bangsa Indonesia, tidak diterapkan oleh
kepolisian dalam menjalankan tugasnya. RS Soekanto yang bahkan pada saat awal
kemerdekaan di perintahkan oleh Presiden Soekarno saat itu untuk belajar
mengenai kepolisian ke Amerika Serikat tetap mempertahankan sistem kepolisian
terpusat karena semangat nasionalisme dan persatuan. Seperti kita ketahui
bersama bahwa sistem kepolisian di Amerika Serikat adalah sistem kepolisian
terpisah dimana masing-masing negara bagian dapat mengatur organisasinya
sendiri. Kelemahan sistem kepolisian terpisah yang sering timbul adalah
susahnya koordinasi antar daerah ketika menangani sebuah perkara yang
membutuhkan penanganan lintas wilayah. Walaupun ada undang-undang yang
menyatakan kekhususan penanganan terhadap perkara tertentu, namun pada
kenyataannya kerjasama itu akan sulit dicapai. Bahkan timbul jarak dan hubungan
yang tidak baik antar badan kepolisian di Amerika Serikat.
Indonesia bukan
tidak pernah menerapkan sistem kepolisian terpisah, pada tahun 1950 saat RI
disahkan menjadi bentuk pemerintahan Indonesia yang baru, kepolisianpun
mengikuti bentuk pemerintahan negara bagian. Namun sejarah kembali mengatakan
kepada kita bahwa kesatuanlah yang paling cocok dengan bangsa Indonesia.
Republik Indonesia Serikat dibubarkan hanya dalam hitungan bulan dan begitu
juga institusi kepolisian yang bersifat terpisah. Kepolisian kemudian membuat
sebuah sistem organisasi yang berpusat di Jakarta.
Namun menurut
penulis, ada beberapa hal dalam sistem kepolisian Amerika yang bagus diterapkan
di Indonesia. Selain polisi yang menangani tugas umum, di Amerika juga ada
kepolisian yang menangani tindak pidana khusus yang dianggap mengkhawatirkan.
Badan kepolisian seperti DEA, FBI, US Secret Service, dan lain-lain memberikan
sebuah hasil kerja yang maksimal di bidangnya. Hal ini dikarenakan mereka fokus
dalam melaksanakan tugas dan kesehariannya berkutat dengan masalah yang khusus
tersebut. Hal ini pun sudah diterapkan di Indonesia melalui pembentukan BNN
(Badan Narkotika Nasional) dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Kedua badan ini menjalankan fungsi kepolisian yang khusus yaitu tentang narkoba
dan terorisme. Dapat dikatakan bahwa kinerja dari kedua badan tersebut cukup
baik dan mendapatkan aspirasi positif di masyarakat. Di masa yang akan datang
kita memerlukan lebih banyak lagi badan-badan yang khusus menangani tindak
pidana tertentu sehingga ancaman terhadap keamanan dalam negeri dapat
tertangani dengan baik.
Indonesia memang
menerapkan sistem kepolisian terpusat, namun dalam pelaksanaannya tidak bisa
diterapkan secara kaku. Mempertimbangkan aspek tradisional dan aspek hakekat
ancaman kamtibmas yang dibahas sebelumnya, kepolisian memerlukan sebuah sistem
yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Di
Aceh, kepolisian perlu menjadi polisi yang paham akan karakter masyarakat yang
agamis. Di Jakarta, kepolisian perlu menjadi polisi yang bergerak sangat cepat
dan peka dengan perkembangan situasi selama 24 jam sehari. Di Papua kepolisian
perlu menjadi polisi yang menjunjung adat istiadat Papua. Yang penulis
maksudkan disini adalah, polisi harus mampu berbaur dengan masyarakat dan
menyesuaikan dirinya dengan masyarakat di tempatnya bertugas. Hal ini
diperlukan agar persepsi akan nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat
sama dengan nilai-nilai yang dianggap baik oleh kepolisian sebagai perpanjangan
tangan negara. Hal ini sebenarnya sudah diterapkan oleh Polri yaitu dengan
membuat KOD (Kesatuan Operasional Dasar) yang tercantum dalam Keputusan Kapolri No 54 Tahun 2002 tentang
penetapan polres sebagai KOD (Kesatuan Operasional Dasar). Dalam Keputusan
Kapolri tersebut Polres diberikan secara
mandiri untuk wewenang menata manajemen
dan operasional di wilayahnya. Karenanya kesatuan setingkat Polres sudah
memiliki fungsi kemampuan yang lengkap dalam melayani masyarakat. Dengan
lengkapnya fungsi ini diharapkan Kapolres dapat membawa organisasinya lebih
fleksibel menyesuaikan sistem sosial yang ada di daerahnya. Artinya, di samping
memimpin anggota kesatuannya, seorang kapolres harus mampu menjadi pemimpin kemasyarakatan.
Apalagi dewasa ini Polri menerapkan Polmas sebagai community policing menjunjung
tinggi budaya dan karakter Indonesia. Sistem ini sama dengan sistem kepolisian
di Jepang dimana institusi kepolisiannya dibagi menjadi beberapa Prefektur yang
mewakili sebuah Provinsi. Prefektur di Jepang dapat mengatur rumah tangganya
sendiri walaupun untuk kasus-kasus yang terjadi lintas daerah memerlukan
bantuan koordinasi melalui NPA (kepolisian pusat di Jepang).
Berbicara
masalah posisi kepolisian dalam susunan pemerintahan negara Indonesia tidak
terlepas dari sistem ketatanegaraan Indonesia dan sejarah bangsa Indonesia.
Sebagai institusi yang harus menjaga independensi dan netralitas, posisi Polri
di bawah Presiden sudah merupakan hal tepat. Wacana beberapa waktu ini yang
meragukan posisi Polri di bawah Presiden dan ingin menempatkan Polri di bawah
Departemen justru akan membuat pelaksanaan tugas Polri menjadi tidak
independen. Ketika Polri berada di bawah Departemen tentunya akan timbul
keengganan Polri untuk melaksanakan tugas penyidikan yang mengarah kepada pejabat
negara di departemennya. Masalah selanjutnya adalah kepala departemen tersebut
dipilih dari hasil tarik-menarik kepentingan politik. Dengan dipimpin oleh
seorang yang berasal dari politik, secara tidak langsung menempatkan kekuatan
Polri ke dalam konstelasi politik. Hal ini akan membawa akibat buruk bagi
pelaksanaan tuggas dan hubungan polisi dengan masyarakat. Kondisi polisi yang
kental terpengaruh politik dan kekuasaan pernah terjadi saat masa orde baru
dimana polisi dianggap sebagai alat dari penguasa.
Namun
posisi yang independen dan bersifat sentralistik ini membuat Polri rawan akan
penyimpangan kekuasaan. Sebuah kelemahan dari sistem kepolisian sentralistik
adalah kerawanan akan abuse of power
yang digunakan oleh penguasa. Namun Polri kemudian mengikuti semangat otonomi
daerah dengan memberlakukan desentralisasi kekuatan yang membagi kekuatan Polri
ke satuan yang lebih bawah setingkat Polda, Polres, dan Polsek. Proses desentralisasi ini secara bersama-sama
membawa aspek sharing of power
maupun checks and ballances dalam penggunaan
kewenangan Polri serta pengawasannya. Proses desentralisasi kewenangan ini akan
mengurangi kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri karena
pengawasan dilakukan oleh beberapa satuan.
Namun
dalam sistem penganggaran kepolisian, penulis merasa perlu untuk berkaca kepada
Inggris. Di Inggris, fungsi kepolisian daerah berhak untuk mengatur anggaran
rumah tangganya sendiri dan dalam pelaksanaannya sumber dana kepolisian
setengahnya berasal dari pemerintah daerahnya. Dengan adanya anggaran yang
dapat ditentukan sendiri, Polda akan lebih kreativ dalam bertindak dan dapat
lebih menyesuaikan diri dengan karakteristik daerah tersebut. Dengan menerapkan
sistem penganggaran yang didukung oleh pemerintah daerah maka masalah Polri
akan kurangnya anggaran dapat teratasi. Selama ini Polri selalu over promising terhadap kinerjanya.
Polri selalu berjanji untuk melaksanakan kinerja dengan maksimal melakukan
semua proses penyidikan tindak pidana yang masuk walaupun kenyatannya anggaran
itu hanya cukup untuk beberapa kasus saja.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah
mengurai beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sistem kepolisian Indonesia
dan berkaca pada sistem kepolisian yang dianut di negara-negara demokratis
lainnya, penulis merasa Indonesia akan cocok dengan sistem kepolisian nasional
yang bersifat sentralistik. Sistem kepolisian ini sejalan dengan sistem
pemerintahan republik yang dianut oleh Indonesia sekaligus mengandung semangat
Bhineka Tunggal Ika. Sistem kepolisian nasional terpusat ini memberikan
keluasan bergerak dalam menghadapi ancaman yang semakin berkembang dan mengglobal.
Selain itu sistem kepolisian terpusat juga sejalan dengan sistem hukum yang
bersifat nasional, seragam di seluruh Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya
sistem kepolisian terpusat ini tidak boleh kaku dan harus peka dengan keragaman
budaya, adat istiadat, serta nilai yang berkembang di masyarakat seluruh
Indonesia. Cara mensiasatinya adalah dengan tetap melakukan desentralisasi
kekuatan kepada kesatuan yang lebih kecil seperti Polda, Polres, dan Polsek.
Selain mengakomodir prinsip community
policing yang dewasa ini diharapkan masyarakat, desentralisasi
kewenangan ini dapat membawa prinsip sharing
of power serta check and ballances yang
mencegah kerawanan abuse of power.
Berangkat
dari kesimpulan di atas, demi mencapai sistem kepolisian yang ideal, penulis
memberikan saran antara lain:
1. Menghadapi kualitas ancaman kejahatan yang semakin berkembang dan
intensitas yang semakin meningkat maka
perlu dibentuk lebih banyak badan-badan khusus yang menangani kejahatan
tertentu seperti BNN dan BNPT sehingga langkah penanganan menangkal kejahatan
dapat lebih terfokus.
2.
Melibatkan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan tugas Polri menjaga kamtibmas dengan menggunakan APBD sebagai salah satu sumber dana anggaran
Polri. Mencontoh kepada sistem penganggaran yang ada di Inggris dimana separuh
dari anggaran kepolisian daerahnya dibiayai oleh pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bloembergen, Marieke
(2011). Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari kepedulian dan ketakutan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar