LEGAL OPINION KASUS CIKEUSIK

LEGAL OPINION KASUS CIKEUSIK

I. POSISI KASUS
Peristiwa tragedi penyerangan warga Ahamadiyah yang terjadi di Desa Cikeusik tanggal 6 Februari 2011 menjadi sebuah catatan buruk bagi penegakkan HAM yang ada di Indonesia. Bagaimana tidak, penyerangan ini telah  mengakibatkan 3 orang anggota Ahmadiyah meninggal dunia, 5 lainnya luka-luka, kendaraan hancur, dan rumah yang dirusak oleh massa. Terlihat dengan jelas dalam video yang ditampilkan saat perkuliahan bagaimana masyarakat yang menolak Ahmadiyah dengan kejam melakukan pengeroyokan dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah. Insiden Cikeusik juga menunjukan bagaimana ruang kebebasan atas keyakinan dan beragama di Indonesia semakin menyempit padahal negeri ini dahulu dikenal sebagai salah satu negeri yang toleran.
Permasalahan yang melatarbelakangi tragedi ini adalah permasalahan agama dimana warga Ahmadiyah dianggap telah menganut ajaran yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Ahmadiyah sebenarnya telah berkembang di Indonesia dari tahun 1950, dan pada tahun 1953 lembaga pengurus Ahmadiyah telah diresmikan sebagai badan hukum oleh pemerintah. Pada tahun 1980 gelombang penolakan terhadap ajaran Ahmadiyah mulai bergulir, beberapa kali Ahmadiyah mengalami tindakan  penolakan dari umat Islam namun karena keteguhannya Ahmadiyah tetap bertahan sampai saat ini. Penolakan terus berlanjut, diskriminasi terhadap penganut, dan demonstrasi menolak Ahmadiyah sering terjadi. Kondisi ini kemudian membuat pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada tanggal 9 Juni 2008, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Pada tragedi Cikeusik, diketahui bahwa keluarga Suparman merupakan keluarga yang menganut aliran Ahmadiyah yang tinggal di Cikeusik. Suparman dan jemaat Ahmadiyah lainnya kemudian dianggap menyebarkan ajaran agama yang sesat oleh warga sekitar. Warga kemudian melarang Suparman untuk melakukan pengajian karena warga menganggap ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pada hari Jumat tanggal 4 Februari 2011, Kapolsek Cikeusik menerima laporan melalui SMS bahwa akan ada pengusiran yang dilakukan oleh warga masyarakat Cikeusik terhadap saudara Ismail Suparman, yang diduga sebagai warga Jemaah Ahmadiyah. Berdasarkan informasi tersebut, Kapolres mengambil langkah-langkah melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat atas nama Haji Ujang, supaya tidak dilakukan tindakan anarkis oleh warga masyarakat.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari, kepolisian melakukan pendekatan terhadap Suparman. Hal ini dilakukan agar yang bersangkutan dan keluarganya bersedia dievakuasi ke Polres Pandeglang guna menghindari tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat Cikeusik. Suparman dikatakan mengikuti imbauan dan meninggalkan rumahnya. Pada hari Minggu tanggal 6 Februari sekitar pukul 07.00 datanglah 15 pengikut Ahmadiyah lainnya yang berasal dari Jakarta dengan menggunakan 2 unit mobil, yaitu Toyota Innova dan Suzuki APV, mendatangi rumah saudara Suparman menggunakan senjata tajam. Dikatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mempertahankan properti milik Ahmadiyah. Melihat gelagat tersebut, warga masyarakat Cikeusik yang berjumlah sekitar 1.500 orang mendatangi rumah tersebut. Sebelumnya pihak Polres Pandeglang telah mempersiapkan anggota yang dipimpin Kapolsek dan Kasat Samapta untuk mengamankan lokasi tersebut, dan berupaya untuk mengevakuasi warga  Ahmadiyah namun ditolak. Penganut Ahmadiyah bersikeras untuk mempertahankan rumah tersebut, malah salah satu orang keluar rumah dan menantang warga sekitar. Hal itu kemudian menyulut emosi warga yang menyebabkan penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah tersebut. Penyerangan ini kemudian mengakibatkan 3 orang anggota Ahmadiyah meninggal dunia, 5 lainnya luka-luka, kendaraan hancur, dan satu rumah dibakar. [1]


II. ISU YANG BERKEMBANG
Kejadian ini kemudian menjadi sebuah isu yang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan baik dalam dan luar negeri. Isu mengenai pelanggaran HAM dan ketidakmampuan pemerintah menjamin kebebasan HAM menjadi topik yang dibahas dimana-mana. Bahkan terdapat surat keprihatinan yang dikirimkan oleh negara lain yaitu Amerika Serikat, Kanada, dan Perwakilan Negara Uni Eropa. Banyak pihak yang mengkritisi langkah pemerintah baik jangka panjang maupun jangka pendek dalam melindungi kebebasan penganut Ahmadiyah untuk beribadah. Banyak pihak menganggap bahwa pemerintah telah salah mengambil langkah dalam menangani potensi konflik dimasyarakat sehingga meluas dan menyebabkan terjadinya insiden ini. Banyak pihak juga akhirnya mempertanyakan komitmen negara dalam melindungi hak asasi manusia warganya.
III. LEGAL OPINION
Hak asasi manusia merupakan hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh manusia dan harus dijaga dan dilindungi. Dalam kasus Cikeusik terdapat pelanggaran HAM karena masyarakat tertentu dilarang untuk menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Padahal kebebasan untuk memeluk keyakinan agama merupakan sebuah hak yang harus dilindungi oleh pemerintah. Kebebasan untuk beragama ini dituangkan dalam ICCPR yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No. 12 Tahun 2005 pada pasal 18 ayat 1 dan 2 :

(1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

(2). Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. [2]
Dengan meratifikasi konvenan internasional tersebut, berarti pemerintah Indonesia sependapat bahwa keyakinan agama merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi. Peratifikasian peraturan tersebut juga menegaskan bahwa pemerintah bersedia dan wajib untuk melindungi hak-hak warga untuk beragama. Hal ini juga berarti pemerintah memberikan segala perlindungan dan upaya penangkalan terhadap segala gangguan yang dapat mengancam kebebasan orang untuk memeluk keyakinan agama yang dipercayanya.
Kejadian Cikeusik banyak menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak mengenai komitmen pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap kebebasan untuk beragama tersebut karena sebenarnya gelombang penolakan terhadap Ahmadiyah ini sudah berlangsung sejak lama. Upaya pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama semakin diragukan ketika terbit Surat Keputusan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada tanggal 9 Juni 2008, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.[3] Walaupun tujuan pemerintah adalah untuk menjaga situasi keamanan dan melindungi warga Ahmadiyah, kemudian menjadi pertanyaan apakah ini merupakan langkah yang terbaik dan satu-satunya? Karena dengan timbulnya surat keputusan bersama ini, warga Islam yang berpaham keras akan semakin gencar untuk melancarkan gelombang penolakan terhadap jamaah Ahmadiyah. Lalu dimana asas kebebasan dalam beragama dipahami dalam keputusan bersama ini?
Akumulasi gelombang penolakan itu akhirnya memuncak saat tragedi Cikeusik terjadi. Dalam tragedi ini potensi kerawanan sebenarnya sudah diketahui oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun pihak kepolisian. Pihak pemerintahpun sempat melakukan mediasi kedua pihak namun hal itu tidak membuahkan hasil. Dalam kejadian ini pihak kepolisian dinilai kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya konflik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasukan yang berjaga sangatlah sedikit dibandingkan dengan jumlah massa yang ada yaitu sekitar 1500 orang. Kerawanan ini tidak terprediksi oleh fungsi intelijen dengan baik yang mengakibatkan salahnya penanganan yang dilakukan. Saat kejadian pengeroyokan itu terjadi, petugas dibuat seolah  tidak berdaya oleh kekuatan massa. Anggota polisi hanya bisa berdiri terdiam menyaksikan kejadian yang telah berlangsung. Jika kita melihat kembali video tentang tragedi Cikeusik, maka seolah-olah terlihat pembiaran yang dilakukan pemerintah sementara warga dengan penuh emosi menganiaya penganut Ahmadiyah.
Apabila kekuatan personil yang disiagakan lebih banyak dan cara bertindak direncanakan dengan baik, banyak pihak berpendapat bahwa kejadian ini bisa dihindari.Faktanya, pada saat kejadian personil kepolisian yang memimpin pengamanan hanyalah Kapolsek yang berpangkat perwira pertama, dan Kapolres bahkan tidak ada di lokasi. Ini berarti Kapolres masih belum menganggap serius permasalahan ini sehingga tidak perlu datang untuk menangani secara langsung. Lalu apakah salah jika masyarakat menganggap polisi kurang serius dalam melakukan tugasnya?
Menurut Routine Activities Theory yang dikembangkan oleh Marcus Felson, kejahatan bisa terjadi bila terdapat pertemuan antara 3 faktor yaitu : motivated offender, suitable target, dan absense of capable guardians.[4] Ketika masyarakat berkumpul untuk mengusir warga Ahmadiyah, tidak ada jumlah petugas yang cukup untuk mengahalangi kejadian tersebut. Jumlah yang tidak sebanding ini menimbulkan faktor ketiadaan penjaga yang berkompeten dalam faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Setelah kejadian terjadi, dilakukan upaya penangkapan terhadap sejumlah pihak yang dianggap turut andil dalam terjadinya pengeroyokan tersebut. Beberapa polisi pun diperiksa secara internal dikarenakan lalai dalam melaksanakan tugas dan mendapatkan hukuman disiplin. Sejumlah pejabat Polda Banten termasuk Kapolda juga dimutasi karena dinilai lalai dalam bertugas.
Proses hukum bagi pelaku pengeroyokan tragedi Ahmadiyah telah dijalankan sampai proses persidangan. Namun keputusan hakim dalam menghukum pelaku kembali mendapat kritikan karena pelaku rata-rata hanya dihukum 6 - 12 bulan. Sikap dari penegak hukum yang merupakan bagian dari pemerintah mengundang keraguan dari para penggiat HAM. Putusan hakim dinilai tidak mewakili rasa keadilan masyarakat. Disini sekali lagi komitmen pemerintah untuk melindungi HAM dipertanyakan.
Pasca peristiwa penyerangan Jamaah Ahmadiyah Cikeusik ini, upaya pemerintah dalam melindungi hak asasi untuk bebas memeluk agama masih dipertanyakan. Bahkan setelah kejadian Cikeusik ini terbit banyak peraturan daerah yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah di berbagai wilayah. Penerbitan Perda larangan ini bertumpu pada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang pernah diterbitkan tahun 2008 lalu. Kebijakan-kebijakan ini tentu saja kontra produktif dengan semangat melindungi, menegakkan dan menjamin pemenuhan HAM, yang seharusnya dilakukan oleh negara.  Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan bagian dari ketidakjelasan dan kemunduran negara dalam menyediakan ruang kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya kepada kelompok minoritas agama.
Masalah HAM sudah sudah menjadi hal yang tidak dapat ditawar kembali dalam kehidupan di masyarakat. Secara  ideologis dan konstituis negara wajib menegakkan Hak Asasi Manusia bagi rakyat yang dinaunginya. Hal itu wajar karena negara memiliki segala instrumen kekuasaan dan kekuatan untuk menjaga HAM.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah mengulas bagaimana terjadinya tragedi Cikeusik dan analisa terhadap filosofi HAM dan aturan yang melindunginya, penulis mengambil kesimpulan antara lain:
1)    Insiden Cikeusik merupakan cerminan dari ketidaktegasan negara dalam menjamin kebebasan warganya untuk menganut kepercayaan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.  Insiden yang menghasilkan kerugian tidak ternilai ini dan menorehkan catatan buruk dalam penegakkan HAM di Indonesia harusnya menjadi pelajaran berharga bagi negara
sehingga tidak terulang kembali.
2)    Peristiwa Cikeusik merupakan salah satu akumulasi kekerasan yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan dan diskriminasi terhadap Jamaah Ahmadiyah mengidentifikasikan bahwa kekerasan serupa dapat saja terjadi di daerah lainnya.
3)    Insiden ini menggambarkan Polri yang gagal melakukan mekanisme pencegahan terjadinya kekerasan. Informasi mengenai potensi kerawanan sebenarnya sudah diketahui namun kepolisian menganggap remeh sehingga tidak dapat melaksanakan pengamanan yang dibutuhkan.
4)    Sampai sekarang tidak ada sikap dan pernyataan resmi dari pemerintah yang dapat melindungi Jamaah Ahmadiyah dalam beragama sehingga komitmen perlindungan HAM pemerintah masih diragukan.
Menanggapi insiden Cikeusik ini dan untuk meningkatkan upaya perlindungan HAM di Indonesia maka penulis memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain:
1)    Pemerintah membentuk mekasnisme preventif guna mencegah terjadinya kekerasan masal yang lebih buruk di masa depan, mengingat di wilayah lain masih banyak potensi koflik serupa yang melibatkan keyakinan keagamaan.
2)    Perlu adanya sebuah regulasi yang melindungi kebebasan umat beragama dalam memeluk agamanya karena dinilai selama ini terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan upaya penanganan konflik keyakinan keagamaan menjadi rancu.
3)    Perlunya evaluasi penanganan Polri terhadap kasus yang melibatkan konflik keyakinan keagamaan sehingga dapat diperoleh formula penanganan yang tepat demi terlindunginya hak-hak sipil masyarakat.
4)    Negara perlu mempertegas komitmennya dalam menjamin kebebasan menganut kepercayaan, beragama, dan beribadat sebagai mana yang telah ditegaskan oleh Konstitusi UUD 1945 dan kewajiban yang menyertai setelah diratifikasinya instrumen-instrumen HAM internasional. Negara harus menilai ulang segala kebijakan dan regulasi yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadat.
DAFTAR PUSTAKA
[1http://nasional.kompas.com/read/2011/02/09/20594513/Kronologi.Insiden.Cikeusik.Versi.Polri
[2] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
[3] Surat Keputusan Bersama (SKB) No 3/2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat.
[4] Jurnal berjudul Bars, Blocks, and Crimes Revisited: Linking The Tehory of Routine Activities to The Empiricism of "Hot Spots" karya Dennis W. Roncek dan Pamela A. Maier.










"Washing one’s hands of the conflict between the powerful and the powerless means to side with the powerful, not to be neutral"
 - Paulo Freire -

Komentar

Postingan Populer