Mekanisme Pemanggilan Notaris Sebagai Saksi dalam Peradilan Pidana
Dalam menangani sebuah perkara, terkadang
penyidik harus memanggil notaris sebagai saksi terkait akta otentik yang dibuat
oleh notaris tersebut. Namun ketika berhadapan dengan notaris, maka penyidik
tidak boleh menyamakan perlakuannya dengan masyarakat pada umumnya. Lalu
bagaimana dengan prinsip equality before
the law? Dalam hal ini notaris dapat dikategorikan sebagai nobile person (orang yang terhormat)
karena notaris merupakan pejabat umum (Openbare
Ambtenaren) yang telah mendapatkan amanat sesuai dengan undang-undang nomor
30 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 2 tahun 2014
tentang Jabatan Notaris. Hal itu dipertegas oleh pemerintah melalui diterbitkannya
Permenkumham nomor 7 tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris. Kita dapat melihat Pasal 1 ayat (1) undang-undang
nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dimana dalam pasal tersebut dijelaskan
secara tegas bahwa Notaris merupakan “pejabat umum”.
“Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang- undang lainnya.”
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 66
ayat (1), notaris mendapatkan perlakuan khusus terkait dengan pemanggilannya guna
kepentingan proses peradilan oleh penyidik, penuntut umum, ataupun hakim. Pasal
ini mengharuskan penyidik untuk terlebih dahulu meminta persetujuan dari
Majelis Kehormatan Notaris sebelum mengirimkan surat penggilan kepada Notaris.
Sepanjang Notaris melaksanakan tindakan jabatan
yang sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Undang-undang (khususnya pasal
16 dan pasal 17 UU 2/2014 tentang kewajiban dan larangan), dapat dimaknai bahwa
Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan megakomodir kehendak
dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum dalam akte otentik.
Lalu bagaimana prosedur pemanggilan
Notaris sebagai saksi seperti yang diamanatkan oleh undang-undang? Menurut
peraturan perundang-undangan, pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib
meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Notaris Wilayah jika
ingin melakukan tindakan:
a. pemanggilan Notaris untuk hadir dalam
penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan yang berkaitan dengan akta atau
protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, atau
b. pengambilan
fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau
protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. (Pasal 20 Permenkumham 7/2016)
Adapun syarat pegajuan permohonan
persetujuan pengambilan minuta akta atau protokol Notaris dan pemanggilan
Notaris, pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim antara lain:
a. Mengirimkan surat permohonan persetujuan kepada
Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sesuai dengan wilayah kerja Notaris
yang bersangkutan;
b. Menyampaikan tembusan kepada Notaris yang
bersangkutan; dan
c. Permohonan
persetujuan paling sedikit berisi:
1) nama
Notaris;
2) alamat
kantor Notaris;
3) nomor
akta dan/atau surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris; dan
4) pokok
perkara yang disangkakan. (Pasal 23 Permenkumham
7/2016)
Menanggapi surat permohonan tersebut, Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan jawaban berupa persetujuan atau
penolakan terhadap permohonan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya permohonan. Adapun pemberian persetujuan kepada
penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dalam
pemanggilan Notaris, dilakukan dalam hal:
a. adanya dugaan tindak pidana berkaitan
dengan minuta akta dan/atau surat-surat Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan
ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum
pidana;
c. adanya
penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih;
d. adanya dugaan pengurangan atau penambahan
atas Minuta Akta; atau
e. adanya
dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum). (Pasal 27 Permenkumham
7/2016)
Pemberian keistimewaan perlakuan
pemanggilan terhadap notaris hendaknya tidak disikapi oleh aparat penegak hukum
sebagai sebuah halangan dalam pelaksanaan tugas, namun marilah kita anggap ini
sebagai sebuah amanah untuk mengakomodir hak-hak masyarakat untuk memperoleh jaminan
kerahasiaan dari hubungan keperdataan
yang telah dilakukannya.
Sumber :
·
Undang-undang nomor 30 tahun 2004
sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris
·
Permenkumham nomor 7 tahun 2016 tentang
Majelis Kehormatan Notaris
Komentar
Posting Komentar