Echo Chambers Effects dalam Penyebaran  Hoax


Sosial media dan platform percakapan virtual lain yang saat ini sangat membantu pertukaran informasi telah membuat perubahan yang besar ke dalam cara manusia berkomunikasi. Selain  memberikan kemudahan dalam hal mengurangi hambatan ruang dan waktu, platform ini juga membawa ancaman lain yaitu penerimaan persepsi yang salah akibat penyebaran berita palsu/ hoax. Bahkan disampaikan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo Niken Widiastuti bahwa penyebaran hoax sangat tinggi mencapai 800 ribu konten per tahun. Beberapa konten hoax yang tercipta menyebar sangat cepat dan massive  sehingga menimbulkan keresahan dan beberapa lainnnya menyebabkan masyarakat terkotak-kotak karena hoaxtersebut berkonten tentang isu provokatif dan SARA. Jika kita berkaca pada tahun 2018, ada beberapa hoax yang cukup menjadi perhatian nasional seperti hoax penyerangan ulama, garam yang dicampur kaca, beras plastik, telur palsu, penculikan anak, sampai hoax penganiayaan yang dialami oleh Ratna Sarumpaet.  Lalu bagaimana hoax ini bisa menyebar dengan cepat dan massive
Penyebaran hoax secara luas tidak terlepas dari peranan efek echo chambers yang kemudian melipatgandakan dan menyebarkan informasi palsu tersebut.Ada tanda-tanda tertentu yang menunjukkan hubungan yang kuat antara fenomena echo chambers dan penyebaran hoax dimana biasanya hoax akan cepat menyebar pada kelompok pengguna media sosial dengan tingkat konfirmasi informasi yang rendah. Penelitian Quattrociocchi menunjukkan bahwa ruang digital membuat pengguna cenderung mempromosikan narasi favorit mereka, membentuk kelompok terpolarisasi, dan menolak informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Pola tersebutlah yang kemudian menjadi katalis dan membuat internet menjadi sebuah lahan yang begitu subur untuk pertumbuhan informasi yang salah.
Pada dasarnya echo chambers ditandai oleh dua hal yaitu adanya polarisasi opinidan polarisasi jaringan. Terminologi polarisasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diterjemahkan sebagai pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan.  Lebih lanjut, yang dimaksudkan dengan polarisasi opini berarti dalam sebuah sistem sosial telah terbentuk kelompok yang memiliki kesamaan opini yang terpisah dengan anggota diluar kelompok tersebut. Kelompok masyarakat yang mengalami polarisasi opini ini, dalam memandang sebuah fenomena sosial yang sama, lebih cenderung untuk mempunyai pandangan yang serupa pula. Polarisasi jaringandisini berarti bahwa terdapat sebuah kondisi dimana sekelompok orang lebih terkoneksi satu sama lain daripada dengan jaringan luar. Merujuk kepada dua definisi situasi tersebut, dengan kata lain kita dapat memaknai bahwa echo chambers merupakan sekumpulan jejaring komunitas yang terhubung lebih erat untuk berbagi pandangan tentang narasi tertentu. 
Penyebaran hoax tersebut akan diperparah dengan adanya sifat pengguna media sosial yang malas untuk mengkonfirmasi isi dari berita yang akan disebarkan. Pengguna akan cenderung mempercayai dan menyebarkan berita berdasarkan suka atau tidak suka dengan informasi yang ada di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa dalam situasi ini, pengguna sosial media mengalami bias dalam mempersepsikan informasi sehingga mengesampingkan kebenaran dari informasi tersebut. Contoh dari kondisi ini adalah penyebaran kelompok pemikiran bumi datar yang percaya bahwa bumi sebenarnya berbentuk datar dan berargumen bahwa sekelompok orang telah memanipulasi persepsi dan informasi sehingga manusia beranggapan bahwa bumi itu bulat. Banyak artikel yang muncul di media sosial memberikan narasi-narasi baik yang mendukung teori bumi datar maupun bumi bulat. Bagi kelompok yang mempercayai teori bumi datar, narasi pendukung teori tersebut akan cepat disebarkan kepada grup-grup sosial media yang dianggap sependapat dengan hal tersebut. Merupakan sebuah kebanggan bagi pengguna tersebut untuk dapat membagikan narasi atau argumentasi pendukung yang dapat memperkuat teori bumi datar. Begitu juga sebaliknya, kaum teori bumi bulat akan dengan senang hati mengunggah artikel yang memuat fakta maupun opini yang meyakinkan bahwa bumi itu bulat.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Daily Social id, dijelaskan bahwa hanya 55,61% pengguna yang melakukan verifikasi terhadap bacaannya dan sebanyak 77,76% pengguna menyebarkan informasi yang diterimanya kepada orang lain atau grup. Penyebaran tersebut tentunya membuktikan bahwa polarisasi jaringan memang telah terjadi dalam hal penyebaran informasi.

Di negara Eropa terdapat  sebuah kota kecil bernama Veles. Di kota inilah praktek penyebaran hoax menjadi sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan diketahui memanfaatkan echo chambers dalam menyebarkan hoax secara massive. Dikutip dari portal berita Channel News Asia yang telah mewawancarai seseorang yang "berbisnis" dengan menyebarkan hoax, pelaku penyebaran hoax mengatakan bahwa memulai bisnisnya dari membuat sebuah hoax, kemudian menyebar ke grup kecil dan kemudian secara otomatis menyebar ke lingkup yang lebih luas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ada 4 tahapan yang mereka lakukan untuk menyebarkan hoax, antara lain:
Pertama. Pelaku akan bergabung ke grup Facebook dengan menggunakan akun palsu. Pelaku akan memilih ke grup yang tepat untuk memposting artikel yang akan diunggah karena terdapat grup yang lebih memberikan pengaruh dan ada yang tidak.
Kedua.     Mencari cerita yang sedang menjadi trend.
Ketiga.     Menulis ulang cerita secara hiperbola.
Keempat. Mengunggah cerita dan mendapatkan keuntungan. Biasanya judul yang digunakan adalah judul yang singkat sehingga orang akan dapat sekilas membacanya.

Dari fakta tersebut dapat kita ketahui bahwa beberapa orang memang menjalankan bisnis hoax ini dengan sebuah teknik dan tujuan tertentu walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa hoax tercipta secara natural diakibatkan kurangnya kemauan seseorang untuk menverifikasi informasi. Informasi tersebut kemudian disebarkan secara berantai kepada grup-grup yang dirasa memiliki kesamaan pemikiran dan prosesnya berulang sampai akhirnya informasi tersebut menjadi viral.
Pada dasarnya, hoax merupakan produk dari media sosial dimana penggunanya akan bereaksi terhadap apa yang mereka sukai. Hal tersebut akan semakin beresonansi karena algoritma yang dibangun oleh media sosial semakin mempertemukan pengguna-pengguna dengan ketertartikan dan profil yang serupa. Kedua hal tersebut pada akhirnya akan membuat sistem echo chambers berjalan dengan semakin baik. Sistem kerja echo chambers akan berlaku di dua sisi yang sama, baik untuk informasi yang bermanfaat atau informasi palsu/ hoax, sekarang adalah tugas kita untuk memilih jalan menggunakan echo chambers tersebut.





Sumber: 

Quattrociocchi W, Scala A, Sunstein CR. 2016. Echo chambers on Facebook.
To ̈rnberg, P. 2018. Echo chambers and viral misinformation: Modeling fake news as complex contagion. PLoS ONE 13(9): e0203958.
https://www.channelnewsasia.com/news/cnainsider/trolls-fake-news-industry-elections-veles-malaysia-indonesia-us-11087430

Komentar

Postingan Populer